Pelanggar UU ITE Dapat Dipenjara dan Denda 1 Miliyar
Gambar Ilustrasi |
Samada Pos, Jakarta – Ketua Panja RUU
Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dari Menkominfo RI Prof Dr Henri
Subiakto menegaskan jika pencemaran nama baik, kalau sebelumnya langsung
ditahan, tapi dalam revisi UU ITE saat ini pemerintah mengusulkan harus
diproses melalui pengadilan terlebih dahulu. Sanksi maksimal 5 tahun penjara
dan denda Rp 1 miliar.
“Jadi, melalui RUU ITE
ini seseorang yang dituduh melakukan pencemaran nama baik diproses pengadilan
untuk membuktikan apakah dia terbukti melanggar Pasal 27 (3)? Definisi
pencemaran nama baik pun tidak ada. Soal SARA juga tidak ada definisinya,”
tegas Henri Subiakto dalam forum legislasi ‘RUU ITE’ bersama komisioner KPI Dr.
Agung Suprio di Gedung DPR RI Jakarta, Selasa (02/08). Sementara anggota Komisi
I DPR RI FPPP Ahmad Dimyati Natakusumah tidak hadir.
Kenapa tidak
didefisikan, kata Henri karena generasi ke depan akan makin banyak
berkomunikasi dan bergiat di dunia media social (cyber – medsos – maya).
Sehingga aturan di dunia nyata dengan RUU ITE akan diberlakukan di dunia cyber,
dan definisnya berbeda-beda.
RUU ITE ini inisiatif
pemerintah dan akan diselesaikan pada September 2016 masa sidang mendatang.
Dimana Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri sudah tiga kali memutuskan bahwa Pasal
27 baik ayat 1 tentang kesusilaan dan pasal 3 tentang pencemaran nama baik itu
tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hanya saja harus diproses pengadilan
terlebih dahulu sebelum seseorang ditahan.
Pentingnya RUU ITE ini
mengingat perkembangan dunia cyber sangat dahsyat, massif, yang bisa dibaca dan
disebar ke seluruh dunia dan juga bisa dimuat berulang-ulang.
“Tapi, semuanya berdasarkan delik aduan. Presiden RI pun meski
namanya dicermarkan, namun tidak ada aduan, maka tidak akan diproses di
pengadilan,” ujarnya.
RUU ITE ini terdiri dari
57 daftar inventarisasi masalah (DIM), sebanyak 12 DIM tidak ada perubahan, 33
DIM sedang dibahas, dan 12 DIM hanya masalah redaksional.
Sementara itu mengenai
isi siaran di TV dan radio, yang menjadi wewenang KPI untuk menyikapinya kata
Agung, pada Oktober -Desember 2016 ini menjadi masa-masa kritis dan KPI harus
kerja keras, karena terkait nasib 10 TV swasta, yang kemungkinan masa siarnya
dilanjutkan atau dihentikan.
Hanya saja regulasi dan
UU No.32 tentang penyiaran dinilai Agung masih lemah. Mengapa? Karena KPI hanya
memberikan rekomendasi dan sanksi administrative, sehingga tidak membuat jera
pemilik TV tersebut. KPI hanya menilai sesuai dengan PPP (Pedoman Perilaku
Penyiaran), dan SPS (Standar Program Siaran).
Karena itu Agung meminta
UU No.32 tersebut direvisi, agar masyarakat yang mengadukan dan merasa
dirugikan oleh siaran publik ini bisa membuat jera pemilik TV.
“Apalagi media saat ini bukan sebagai agen yang netral, karena
dikuasai oleh pemilik modal. Dimana sanksi administrative hanya sebatas
mengurangi durasi, dan atau menghentikan tema/judul siaran,” ungkapnya
prihatin.
Sejauh itu kata Henri
Subiakto, sebenarnya KPI mempunyai kewenangan yang kuat. Sebab, kalau sampai
KPI merekomendasikan salah satu TV swasta nanti, misalnya tidak perlu
diperpanjang, maka Menkominfo RI dan Presiden RI pun tidak akan bisa berbuat
apa-apa.
“Menkominfo dan Presiden RI harus menjalankan rekomendasi KPI.
Kalau KPI rekonendasinya setop, maka harus disetop,” pungkasnya.(SN)
Post a Comment