Dr. Anwar Usman, S.H., M.H.
Mengawali karier sebagai
seorang guru honorer pada 1975, tidak membatasi langkah Anwar Usman menjadi
seorang Hakim Konstitusi seperti sekarang. Keterpilihannya sebagai pengganti M.
Arsyad Sanusi, dipandang oleh pria kelahiran 31 Desember 1956 merupakan jalan
takdir yang dipilihkan Allah SWT untuknya. “Saya sama sekali tak pernah
membayangkan untuk mengucapkan sumpah jabatan di hadapan Presiden. Saya juga
tak pernah membayangkan bisa terpilih menjadi salah satu hakim konstitusi,”
jelas suami dari Hj. Suhada yang merupakan seorang bidan yang kini mengurus RS
Wijaya Kusuma, Lumajang, dan RS Budhi Jaya Utama, Depok ini.
Anwar yang dibesarkan di
Desa Rasabou, Kecamatan Bolo, Bima, Nusa Tenggara Barat, mengaku dirinya
terbiasa hidup dalam kemandirian. Lulus dari SDN 03 Sila, Bima pada 1969, Anwar
harus meninggalkan desa dan orang tuanya untuk melanjutkan pendidikannya ke
Sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) selama 6 tahun hingga 1975. “Selama
sekitar enam tahun hidup terpisah dari orangtua, saya banyak belajar tentang
disiplin dan kemandirian, karena memang sebagian hidup saya habiskan di
perantauan,” jelas putra asli Bima, Nusa Tenggara Barat ini.
Lulus dari PGAN pada 1975,
atas restu Ayahanda (Alm.) Usman A. Rahim beserta Ibunda Hj. St. Ramlah, Anwar
merantau lebih jauh lagi ke Jakarta dan langsung menjadi guru honorer pada SD
Kalibaru. Selama menjadi guru, Anwar pun melanjutkan pendidikannya ke jenjang
S1. Ia pun memilih Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta dan lulus pada
1984. “Teman-teman saya sesama PGAN kala itu banyak memilih untuk melanjutkan
pendidikan ke IAIN, mengambil fakultas tarbiyah, fakultas syariah atau fakultas
lainnya. Adapula yang melanjutkan pendidikan ke Institut Keguruan dan Ilmu
Pendidikan (IKIP). Jarang yang memilih fakultas hukum. Akan tetapi, saya tidak
melepaskan diri dari dunia pendidikan yang menjadi basic saya. Terbukti SD
Kalibaru tempat pertama kali saya mengadu nasib di Jakarta pada 1975 telah
berkembang menjadi sebuah yayasan pendidikan dengan berbagai jenis dan
tingkatan pendidikan. Saya pun terpilih dan diangkat menjadi Ketua Yayasan
sampai saat ini,” ujar pria yang gemar menyanyikan lagu-lagu Broeri Marantika.
Pecinta
Teater
Selama menjadi mahasiswa,
Anwar aktif dalam kegiatan teater di bawah asuhan Ismail Soebarjo. Selain sibuk
dalam kegiatan perkuliahan dan mengajar, Anwar tercatat sebagai anggota Sanggar
Aksara. Dirinya pun sempat diajak untuk beradu akting dalam sebuah film yang
dibintangi oleh Nungki Kusumastuti, Frans Tumbuan dan Rini S. Bono besutan
sutradara ternama Ismail Soebarjo pada 1980. “Saya hanya mendapat peran kecil,
namun menjadi suatu kebanggaan bisa menjadi anak buah sutradara sehebat Bapak
Ismail Soebarjo, apalagi film yang berjudul “Perempuan dalam Pasungan” menjadi
Film Terbaik dan mendapat Piala Citra,” kenang pria yang meraih gelar Doktor
pada Universitas Gadjah Mada.
Akan tetapi, keterlibatan Anwar
dalam film yang meledak pada 1980 tersebut, menuai kritik dari orangtuanya.
“Ketika film itu meledak, sampailah film itu ke Bima. Kebetulan di film itu ada
adegan saya jalan berdua seorang wanita di Pasar Cikini, orang-orang di kampung
saya, heboh semua. Padahal di film itu saya hanya sebagai penggembira saja.
Ketika Bapak saya tahu, saya dimarahi. Kata beliau, ‘Katanya ke Jakarta untuk
kuliah, ini malah main film’,” kenangnya sambil tersenyum.
Anwar mengenang
keterlibatannya dalam dunia teater sebagai salah satu pengalaman dia yang
paling berkesan. Menurut pria yang ramah ini, dunia teater mengajarkannya
banyak hal termasuk tentang filosofi kehidupan. Dunia teater dan film, menurut
mantan Hakim Yustisial Mahkamah Agung ini, pada intinya mengandung unsur
edukasi yang mengajak pada kebajikan, termasuk bagaimana bersikap dan bertutur
kata. “Mengucapkan sumpah seorang diri di hadapan Presiden SBY, banyak teman
yang khawatir. Tapi, Alhamdulillah, berkat pengalaman saya di bidang teater,
saya bisa mengatasi kegugupan dan tidak demam panggung ketika harus mengucapkan
lafal sumpah,” urai mantan Kepala Badan Litbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung
periode 2006 – 2011 ini.
Sukses meraih gelar Sarjana
Hukum pada 1984, Anwar mencoba ikut tes menjadi calon hakim. Keberuntungan pun
berpihak padanya ketika ia lulus dan diangkat menjadi Calon Hakim Pengadilan
negeri Bogor pada 1985. “Menjadi hakim, sebenarnya bukanlah cita-cita saya.
Namun, ketika Allah menginginkan, di manapun saya dipercaya atau diamanahkan
dalam suatu jabatan apapun, bagi saya itu menjadi lahan untuk beribadah. Insya
Allah saya akan memegang dan melaksanakan amanah itu dengan sebaik-baiknya,”
urai pria berjenggot lebat yang pernah bertugas di Pengadilan Negeri Atambua
dan Pengadilan Negeri Lumajang tersebut.
Tegakkan
Keadilan dan Jaga Etika Hakim Konstitusi
Sosok sederhana ini
menganggap prestasi tertingginya dalam dunia peradilan sebagai hakim
konstitusi, jauh dari bayangannya selama ini. Di Mahkamah Agung, jabatan yang
pernah didudukinya, di antaranya menjadi Asisten Hakim Agung mulai dari 1997 –
2003 yang kemudian berlanjut dengan pengangkatannya menjadi Kepala Biro
Kepegawaian Mahkamah Agung selama 2003 – 2006. Lalu pada 2005, dirinya diangkat
menjadi Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta dengan tetap dipekerjakan sebagai
Kepala Biro Kepegawaian. Namun, Anwar mengakui tidak asing dengan lembaga
peradilan yang berdiri sejak 2003 ini. Selain dari keilmuan yang didalami, ia
pun sudah lama mengenal Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva yang sama-sama berasal
dari Bima, Nusa Tenggara Barat. “Saya sudah sering berkomunikasi dengan Pak
Hamdan sejak beliau menjadi Anggota Komisi II DPR. Begitu juga halnya dengan
Pak Akil (M. Akil Mochtar, red.). Sementara itu, dengan Pak Fadlil (Ahmad
Fadlil Sumadi, red.) karena kami pernah bersama-sama di Mahkamah Agung,”
ujarnya.
Menurut Anwar, semenjak
Mahkamah Konstitusi berdiri ia selalu mengikuti perkembangan lembaga yang
dipimpin oleh Moh. Mahfud MD tersebut sehingga tidak sulit untuk beradaptasi dengan
lingkungan di MK. “Saya langsung beradaptasi. Apalagi Pak Ketua langsung
mengajak saya untuk ikut bersidang sesaat setelah saya mengucapkan sumpah di
hadapan Presiden. Saya dengar dari teman-teman Kepaniteraan bahwa sidang di MK
terkadang sampai tengah malam. Tentu saya pun siap untuk itu,” paparnya.
Prinsip Anwar dalam
menjalankan tugas sebagai hakim selama ini selalu mencontoh Rasulullah SAW. Dia
menyitir kisah Nabi Muhammad SAW. “Dikisahkan dalam sebuah hadist, Rasulullah
SAW pernah didatangi oleh pimpinan kaum Quraisy untuk meminta perlakuan khusus
terhadap anak bangsawan Quraisy yang mencuri. Beliau dengan bijak mengatakan,
‘Demi Allah, jika Fatimah, anakku sendiri mencuri, akan aku potong tangannya’.
Artinya, penegakan hukum dan keadilan harus diberlakukan terhadap siapapun
tanpa kecuali,” jelasnya.
Disinggung mengenai istri
dan ketiga anaknya, pria yang murah senyum inipun menganggap keluarganya
sebagai penopang kariernya yang utama. Baginya, dukungan dari sang istri dan ketiga
buah hatinya mampu membuatnya bertahan hingga puncak kariernya sebagai hakim
konstitusi ini. Ia pun membedakan urusan keluarga dengan urusan pekerjaan.
“Keluarga adalah segala-galanya. Alhamdulillah, sejak awal, istri dan anak saya
tercinta mengerti dan memahami untuk tidak mencampuri urusan pekerjaan kantor,
tanpa saya minta. Mereka pun tetap mendukung saya,” tandas ayah dari Kurniati
Anwar, Kahiril Anwar dan Sheila Anwar ini.(#)
Post a Comment