Jalan Terjal Revisi UU Otsus Papua
JAKARTA, Media NTB - Dasar
pemikiran kebijakan otonomi khusus merupakan kebijakan yang bertujuan
untuk memperbaiki berbagai ketertinggalan serta ketimpangan yang ada di
Provinsi Papua dan Papua Barat. Otsus juga merupakan hasil perjuangan
panjang untuk mewujudkan hak-hak dasar penduduk asli Papua.
“Namun
dalam realitasnya, pemerintahan Otonomi Khusus Papua, terdapat
kelemahan kebijakan yuridis normatif, antara lain kurang sinkron
pengaturan level kewenangan pemerintah dengan pemerintah kabupaten/ kota
yang menimbulkan perumusan norma yang multi-tafsir, serta
adanya ketidaktepatan aturan yang menghambat pelaksanaan Otonomi
Khusus,” demikian disampaikan legislator dapil Papua Sulaeman L Hamzah
dalam sebuah talkshow bertajuk “Otsus: Kemarin, Hari Ini dan Esok”yang diadakan oleh Pemprov Papua, Selasa, (21/11), di GOR Jayapura, Papua.
Ini
bukanlah kali pertama Sulaeman berkampanye dan memperjuangkan adanya
revisi terhadap UU No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus di Papua.
Sudah ratusan forum, pertemuan, dan kesempatan dilaluinya demi
terealisasinya revisi UU Otsus Papua. Namun rupanya gayung belum
bersambut. Pemerintah, yang dalam hal ini Kementerian Hukum dan HAM
belum juga memenuhi harapan banyak warga Papua ini.
Sulaeman
dan revisi UU Otsus Papua sendiri seperti hal yang tak terpisahkan.
Anggota Baleg DPR RI ini sudah mengusulkan revisi UU Otsus Papua masuk
dalam Program legislasi Nasional sejak tahun 2015.
“Sampai
saat ini kami masih berkomitmen untuk mengusulkan revisi sebagai upaya
perbaikan dan penyesuaian terhadap kebutuhan masyarakat Papua,” ucapnya
di berbagai kesempatan.
Sulaeman
selalu menekankan, ada norma-norma dalam UU Otsus saat ini yang tidak
memiliki kekuatan yang mengikat. Hal ini karena tidak adanya kejelasan
undang-undang yang mengatur tentang Otonomi Khusus Papua karena sudah
tidak sesuai perkembangan dan dinamika di Papua.
Realitas
yang terjadi memperlihatkan bagaimana tumpang tindihnya peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang Otsus Papua telah menimbulkan
kelemahan hukum bagi penyelenggaraan pemerintahan di Papua.
“Otonomi
Khusus Papua bukanlah pemberian pemerintah pusat tetapi merupakan salah
satu solusi sosial dan politik atas persoalan-persoalan yang terjadi di
Papua. Berbagai permasalahan masih banyak terjadi di Papua. Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) Papua masih rendah, terutama bila dibandingkan
dengan provinsi lain di Indonesia, yang ukurannya berbeda,” tandas
politisi NasDem ini.
Pembangunan
infrastruktur di Papua memang mengalami kemajuan di era pemerintahan
Jokowi. Di bawah kepemimpinan Gubernur Lukas Enembe, Papua juga sudah
mulai banyak berbenah terutama dalam perbaikan infrastrukturnya.
Misalnya, pembangunan di wilayah perbatasan antara Papua dengan Papua
Nugini yang berada di titik perbatasan Sota Merauke, dan antara Papua
Nugini dengan Skouw di Jayapura. Lintas batas juga sudah terbangun
dengan megah. Ini menunjukkan keseriusan untuk menjaga kedaulatan, baik
dari pemerintah pusat maupun pemerintah provinsi. Pembenahan di beberapa
sektor juga telah dilakukan dan ini semua semata-mata upaya untuk
meningkatkan Papua lebih baik.
Meski
demikian, masih ada wilayah yang belum tersentuh. Misalnya jalan utama
penghubung Bovendigul dengan Merauke yang masih jauh dari layak jika
musim hujan tiba. “Sehingga ini juga menghambat perekonomian
masyarakat,” imbuh Sulaeman.
Menurut
Sulaeman, penataan di Papua harus serius dari pelosok-pelosok sehingga
keadilan dan pemerataan pembangunan bisa dirasakan masyarakat Papua
secara umum. Untuk menata itu semua dibutuhkan payung hukum yg jelas
yaitu dengan revisi UU Otsus.
Saat
ini jutaan warga Papua dan Papua Barat sedang semangat-semangatnya
melaksanakan pembangunan demi kesejahteraan. Namun jika itu tidak
diiringi dengan revisi UU Otsus maka hasil dari pembangunan hanya akan
menjadi sia-sia saja. Betapa tidak, Papua kini telah menjadi dua.
Sementara UU Otsus dibuat dalam konteks satu Papua.
“Hal
inilah yang menjadi muasal dari ketidaksinkronan dan tumpang tindihnya
peraturan dan regulasi menyangkut Papua,” cetus Sulaeman.
Usulan
revisi atas UU Otonomi Khusus Papua memang telah masuk dalam Prolegnas
Jangka Menengah 2015-2019. Namun dia berharap hal itu tidak sekadar
menjadi penghibur sesaat saja bagi masyarakat Papua. Karena pada
kenyataannya, usulan itu belum disambut jua oleh pemerintah.
Upaya
revisi UU Otsus Papua memang tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Pengusulan yang memerlukan dukungan dari berbagai pihak ini masih
mengalami jalan terjal, padahal banyak upaya yang sudah dilakukan.
Tim
Pemantau DPR RI terhadap pelaksanaan UU terkait Otsus Aceh, Papua, dan
Keistimewaan D.I. Yogyakarta juga telah merekomendasikan revisi UU 21
Tahun 2001 untuk masuk dalam Prolegnas Prioritas. Bahkan pimpinan DPR
Bapak Fadli Zon secara langsung juga telah mengirimkan surat kepada
Baleg DPR RI perihal “Penyampaian Rekomendasi Revisi UU Nomor 21 Tahun
2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua sebagai Prolegnas
Prioritas Tahun 2016” dengan nomor surat: LG/19162/DPR-RI/XII/2015 dan
tertanggal 15 Desember.
Namun
dalam kenyatannya rekomendasi yang disampaikan tim pemantau tersebut
tidak ditindaklanjuti oleh Badan Legislasi DPR. Bahkan surat dari
pimpinan DPR tersebut tidak disampaikan dan dibahas di Badan Legislasi
secara resmi dalam forum rapat.
Di
sisi lain, pemerintah pada saat Rapat Kerja di Badan Legislasi tanggal 6
Februari 2016 telah berjanji akan memasukan RUU Perubahan UU Otonomi
Khusus Papua dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2016 dan DPR, melalui Badan
Legislasi, juga telah menyetujui untuk memasukannya dalam Prolegnas
Prioritas Tahun 2016.
Namun
dalam perkembangannya, setelah DPR, Pemerintah, dan DPD melakukan
pembahasan tentang Prolegnas Prioritas Tahun 2016 dalam Rapat Badan
Legislasi maupun Rapat Paripurna yang mengagendakan persetujuan dan
penetapan Prolegnas Tahun 2016, beberapa fraksi belum menyetujui. Ini
disebabkan karena pemerintah belum menyetujui dan masih melakukan kajian
terhadap perubahan UU Otsus Papua.
Sudah
berulang kali Pemerintah Provinsi Papua, Dewan Perwakilan Rakyat Papua,
dan Majelis Rakyat Papua melakukan audiensi dan Rapat Dengar Pendapat
Umum di Badan Legislasi. Draf RUU Pemerintahan Otonomi Khusus Bagi
Provinsi di Tanah Papua yang dilengkapi dengan Naskah Akademik sudah
disiapkan.
Di
Badan Legislasi Pemerintah Daerah, DPRP dan MRP juga telah memberikan
penjelasan tentang urgensi revisi terhadap UU Otsus. Namun apa daya,
gayung rupanya belum bersambut; harapan pun masih menggantung di angan.
Pada
6 Juni 2016 saat Rapat Kerja Badan Legislasi dengan pemerintah yang
diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM, mengagendakan pembahasan Perubahan
Prolegnas Prioritas Tahun 2016. Namun pemerintah lebih bersikap
menyerahkan sepenuhnya kepada DPR atau DPD untuk melakukan penyusunan
sebagai pengusul. Lagi-lagi, pemerintah menyatakan masih dalam posisi
terus melakukan kajian.
Pada
dasarnya semua Fraksi di DPR, Pemerintah dan DPD, memiliki perhatian
khusus terhadap Papua. Namun jika ditelusuri lebih serius, perhatian
dalam membahas RUU Otonomi Khusus Papua masih belum maksimal dan
cenderung saling melempar tanggungjawab.
Jalan terjal masih panjang rupanya..
Post a Comment