Wahyu Keprabon Hinggapi Bajang
Oleh: Mujamin Jassin
(Penulis adalah penulis lepas)
Rasa-rasanya tidak
sembarangan orang mengurusi tambang emas, minyak, nikel, dan sebagainya, tidak
sembarangan orang yang mengurusi penyakit sosial di masyarakat dan tidak
sembarangan orang mengurusi umat (warga negara) yang bermasalah, kecuali
orang-orang yang telah digariskan. Dalam kosmologi Jawa, kekuasaan dan
kepemimpinan selalu diselimuti aura spirituali. Irasionalitas kekuasaan akan
dikaitkan dengan sosok pemimpin yang sakral karena melibatkan campur tangan
kekuatan yang khalig. Seseorang menjadi pemimpin karena dikaruniai ‘wahyu
keprabon’ atau guratan tangan sebagai pemimpin (Burhanuddin Muhtadi, 23:2013).
Dan isyarat wahyu keprabon
ini telah digariskan tangan, terpancar jelas dari aura Tuan Guru Bajang (TGB)
Zainul Majdi. Alhasil hal tersebut ditandai dengan elektoral TGB kian bersinar
dalam sejumlah survey baik sebagai Calon Presiden (Capres) maupun Calon Wakil
Presiden (Cawapres).
Bila Gatot Nurmantyo mengaku
sedang menunggu takdir dan kehendak Tuhan terkait nasibnya maju sebagai Capres
seperti yang dibertikan. Berbeda dengan TGB yang telah dihinggapi wahyu
keprabon. TGB dapat kecipratan mitilogi wahyu kerprabon karena berbanding lurus
dengan banyak survei meramal trahnya akan merajai panggung politik nasional.
Simulasi realitas tersebut dapat dibuktikan dengan prospek ekletoral TGB yang
melejit melampaui tokoh-tokoh lain yang terlebih dulu gencar melakukan gerilya
politik kemana-mana. Dari survey Kompas yang dirilis baru-baru ini, nama TGB
mendapatkan elektrotal kesukaan publik 2,2 persen. Mengungguli nama tokoh-tokoh
lain seperti sosok Sri Mulyani yang hanya mendapatkan 1,9 persen.
Bisa jadi prospek elektoral
TGB buah dari kilas historis perjalanan keberhasilan kepemimpinan TGB selama
ini yang membuat namanya melambung tinggi. Pamornya kian bersinar ketika dua
periode memimpin Indonesia Timur, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Statusnya
sebagai Gubernur dua periode adalah investasi politik yang decisive karena
sosoknya tersimpan dalam kenangan kolektif rakyat. TGB di nilai sebagai tokoh
penting di balik keberhasilan pembangunan sunda kecil ini yang dulunya
terklasterisasi salah satu daerah miskin. TGB telah berhasil menekan rasio
kemiskinan dan mengurangi ketimpangan sosial di NTB. Dan barangkali kemampuan
serta sepak terjang TGB dalam merubah wajah NTB menjadi pertimbangan kesukaan
publik lantas diapresiasi dan didorong bersama untuk menjadi pemimin nasional.
Yang lain boleh ditanya integritasnya karena belum teruji jika dihadapkan pada
kekuasaan. Sementara TGB teruji dari berbagai jabatan yang diemban sebelumnya.
Track record kepemimpinan yang telah terbukti.
Nasionalis-Religius
Seorang pemimpin nasional
memang mesti mempunyai kearifan spiritual selain cakap melakukan komunikasi
dalam menakhodai biduk Indonesia yang majemuk. Sosok TGB adalah sosok yang
langka bahkan lengkap dari segala aspek, ulama dan umaro. TGB juga merupakan
seorang pemimpin yang dapat menjadi “penuntun umat” di tengah Indonesia yang
kering panutan. Dan tentu saja TGB memiliki wawasan yang kuat dalam mengarahkan
biduk menuju tercapainya tujuan berbangsa dan bernegara, TGB tawadhu
menjalankan amanh sebagaimana diamanahkan dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam kompetisi global
antar-bangsa, khususnya dalam bidang ekonomi, realitasnya Bangsa ini memang
perlu berlari mengejar ketertinggalannya. Filsafat berlari ini dapat motivasi,
obat perangsang atau cambuk kejut bagi siapa pun pemimpin bangsa yang ingin
mensejajarkan dirinya dengan bangsa-bangsa lain yang sudah berlari lebih dulu.
Hal ini baru dapat dilakukan selain
dengan cara memperbaiki sistem yang mandek atau jalan di tempat selama ini.
Tentu syarat lainnya adalah menyatukan semangat dua kekuatan yang dimilik
republik ini. Yakni konsensus politik antar-kekuatan yang nasionalis-religius.
Konsensus yang sepenuhnya
mampu membangun cetak biru sistem kebijakan yang berkualitas dan berkeadilan.
Sumber daya nasionalis-religius yang kini menjadi realitas eksistensial kita,
sebagai entitas individual maupun nasional. Hal ini yang boleh jadi senantiasa
menggagalkan kita mendapatkan atau menemukan diri kita sendiri. Situasi yang
mampu menciptakan semacam dislokasi dan disorientasi yang pada gilirannya
membuat kita mengalami kerancuan, bahkan kehilangan acuan (references);
kehilangan dasar-dasar di mana kita dapat bertaut dan menumpukan diri, diri
eksistensial kita. Dan fase filsafat berlari akan dilewati baik dengan nasionalis-religius
yang dimiliki oleh TGB.
Pesona lain TGB muncul
sebagai pilihan altenatif politik luar Jawa. Representasi pendamping luar jawa
tentu saja akan menambah keuntungan bagi Capres. Secara konseptual, ini
menciptakan preseden baik dalam proses demokrasi. Selebihnya pilihan ini sekali
lagi menghindarkan terjadinya repolarisasi masif antara ‘Jawan luar Jawa’ yang
menandai dinamika Pilpres.
Running
for Indonesia, Kendaraannya?
Survey yang digelar PolcoMM
Insitute beberapa bulan lalu elektabilitas TGB melampaui Anies Baswedan dan
Kogasma Partai Demokrat (PD) Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Survei Lembaga
survei KedaiKOPI yang menggelar pada 19-27 Maret 2018 yang menyodorkan 14 nama
sebagai cawapres dalam wawancara tatap muka menempatkan elektabilitas TGB 6,2
persen di nomor keempat, di atas Abraham Samad: 4,1 persen, Tito Karnavian: 3,9
persen, Muhaimin Iskandar: 1,7 persen, serta Sohibul Iman: 0,4 persen.
Riset ini menunjukkan bahwa
penilai akademikus sosial politik memilih TGB sebagai figur yang paling
direkomendasikan dibanding long list cawapres lainnya. Seharusnya modal ini
saja tak sulit langkah TGB berlaga di pentas pemilu nanti. Indikator
elektoralnya terukur, alumnus Al Azhar ini difavoritkan masuk bursa Pilpres.
Artinya TGB telah memenuhi syarat untuk running for RI minimal menduduki kursi
RI-2 istana.
Tinggal selangkah lagi,
yakni selanjutnya “kimiawi politik” TGB harus dieksplorasi sedemikan menyeluruh
dan massif. Membedah prospek elektoralnya di tengah munculnya gejala elektoral
bintang politik baru. Membaca konstelasi dan memprediksi peluang diusungnya TGB
di tegah iklim politik aligarki partai politik. Membujuk PD untuk rela
memajukan dirinya. Skenario-skenario ini tentulah agar TGB menyabet kesempatan
langka ini. Tuan guru siap running foruntuk Republik Indonesia, tetapi
kendaraannya?
Bersinarnya ektoral TGB
memang mengirimkan pesan penting untuk PD yang memiliki kekuatan jangkar
politik yang besar. Untuk itu PD sebagai penyalur aspirasi publik seyogyanya
menunjukkan sinyal-sinyal positif ingin mengusung dan memberikan tiket
kendaraan kepada TGB.
Babak baru konstelasi
politik nasional bisa jadi ditentukan hari-hari ke depan. Terutama yang paling
krusial PD akan di uji sebagai organisasi kepartaian yang demkoratis, memilih
yang tepat di tengah stok kader yang melimpah. Debat perihal status-quo politik
olirgaki yang mendominasi pada percaturan politik dalam tubuh parpol memang
sulit disangkal. Kondisi ini apakah akan semakin membataskan ruang gerak dan
termarginalkannya wahyu keprabon TGB?
Dalam waktu yang semakin
singkat kedepan, sebelum PD memutuskan kemana suara ditentukan kepada siapa
yang dimajukan. Tampaknya TGB musti lebih intensif merayu, berharap PD
perubahan sikap. Sowan, bicara dan membahas peluangnya maju melalui partai yang
menaunginya. Skenario paling pesimistis sebelum itu, berjalan apa adanya dulu
sambil membangun komunikasi publik yang teratur dan terjaga dengan masyarakat
madani, tokoh-tokoh penting, media massa, ormas-ormas keagamaan, serta kekuatan non partai lain yang diharapkan
dapat berpihak kepada kepentingan TGB.
Posisi TGB dan PD memang
dilematis, semakin tidak berkepastian akibat belakangan terdengar beberapa
suara bernada kurang akomodatif terhadap namanya. Apa hendak dikata, jika sikap
PD membuat semua terperangah. Alih-alih mengusung TGB masuk gelanggang. Hal ini
tak dapat pungkiri kesan bahwa PD lebih condong mendorong AHY. Potensi AHY
diusung memang besar, karena hasil survei menunjukkan bahwa AHY juga merupakan
tokoh penting untuk direkomendasikan. Disini bisa dilihat seberapa baik
pelembagaan politik PD, terutama upaya membangun konsensus politik yang lebih
solid guna mempertegas peta kekuatan politik nasional. Tidak terjebak kartel
politik yang dikuasai keluarga hingga melahirkan monopoli dan situasi kolusi
demokrasi.
Apakah dengan modal
bersinarnya elektoral TGB dapat melenggang masuk gelanggang Pilpres? Jawabannya
bergantung pada PD, wahyu keprabon tak cukup menolong, itu hanya sekedar
instrument politik. Apa perlu TGB mencari jalan lain di luar PD, melakukan
komunikasi politik dengan parpol-parpol lain yang dapat menampung aspirasi
pendukungnya? Sebaliknya dedikasi dan
loyalitas TGB terhadap PD tak justru meredupkan wahyu keprabon lantas cerai dan
mencari jalan lain di luar PD.
The art of possibility –
itulah suatu uangkapan bahwa politik tidak pernah punya waktu jeda berhenti
menciptakan kemungkinan. Yang jelas TGB mengantongi modal politik yang memadai.
Jangan TGB dipinggirkan lantaran kecipratan wahyu keprabon. Atau justru hanya
saja TGB tidak percaya diri, malu-malu mengamalkannya dan menyatakan siap maju.
Sebab sejauh ini masih belum terdengar suara-suara optimistis yang kunjung
terealisasi dengan adanya kerja-kerja politik yang dilakukan TGB. Oleh sebabnya
TGB harus mampu menetapkan pilihan, menegasikan diri dan pendiriannya. Baru
kemudian saatnya publik 2,2 persen musti tagih "kesiapan" TGB
mendeklarasikan dirinya.(**)
Post a Comment