DILEMA PARA “PENDATANG”
Oleh: Arman Albimaya |
Figure Luar Daerah selalu
Kalah dalam setiap pilkada di Kota Bima – Kabupaten Bima ! ini semacam catatan
kejam untuk para pendatang yang ingin mengadu taring ketokohan dalam setiap
perhelatan Pilkada Kota-Kabupaten Bima ! jika tidak percaya ! silakan lihat
fakta dalam cacatan!
Mengapa selalu begitu ?
Yah… kenyataanya memang
begitu, seolah figure yang datang dari luar daerah tidak memiliki ruang untuk
mengadu “peruntukan” nasib di tanah bertuah, lebih-lebih figure yang datang
dari kota besar seperti JAKARTA ! betapapun mereka memiliki confiden tinggi
sebagai tokoh penting di kota-kota besar, begitu datang mengadu nasib di
kota-kabupaten bima, mereka selalu rontok dan kembali dengan kepala lesu tak
bergairah, sebab pernak-pernik ketokohanya di kota besar harus takluk oleh
tokoh local yang jelas-jelas punya rekam
jejak nyata untuk warga kota-kabupaten bima (untuk menjaga nilai etik
“jejak” kenangan, saya tidak akan menyebut nama-nama dari para tokoh luar
daerah tersebut yang datang bertarung adu nasib namun selalu terjungkal oleh
kedigdayaan tokoh local).
Ini memang semacam aturan
yang tidak tertulis tentang ke akuan warga, sehingga kadang-kadang, rasa
comfidence tinggi dari para figure pendatang selalu berhadapan dengan tembok
besar “akan pengakuan-keakuan” warga terhadap mereka !
Jika aturan tidak tertulis
ini tidak dipahami dengan baik oleh para pendatang, maka tidak heran, rasa
comfidence yang tinggi tadi akan mendapatkan kenyataan yang tidak linear dengan
kenyataan social yang di hadapi, betapapun sang figure luar daerah tersebut
berkoar-koar dengan segala cara dalam meyakinkan warga bahwa mereka adalah
tokoh nasional, punya jaringan luas, bisa memerintahkan para menteri atau
infestor, bahkan bisa mengakses sang presiden dalam 24 jam sehari, tetap saja
dalam pandangan warga jargon-jargon semacam itu, hanya semacam iklan lewat pada
saat telenovelanya ibu-ibu dan pertandingan bola bagi laki-laki.
Meski ironi, tapi tetap saja
menjadi kenyataan menakutkan bagi para figure pendatang yang paham realitas
social di kota bima, bahwa, betapapun para figure luar daerah itu mengaku diri
hebat di kota-kota besar, tetap saja mereka bagi warga kota bima dianggap
sebagai warga "second man" atau dalam bahasa bima lebih populer
disebut dengan istilah warga "cedo ngoru". JANGAN LUPAKAN “tabe’a da
pehe di’ tuna” ndai mbojo ketika merasa ada sebagian warga yang “ka ingge weki
anca nara” lebih-lebih jika warga tersebut sudah lama tidak tinggal di bima
(luar daerah).
Jika dalam dunia digital
sekarang ini ada istilah “jejak digital”, boleh jadi dalam sanubari warga kota
bima juga tertanam istilah “jejak nyata” sebuah karya, sehingga bila di
argumentasikan dalam pemaknaan dan penafsiran, warga kota bima ingin membisikan
lembut ketelinga para pendatang dengan kalimat seperti ini!
“Dou ta be”
“Au ra karawi na”
"Au la rawi na ru'u
dana rasa”
Jika beberapa pertanyaan
dasar tersebut tidak bisa dijawab dengan meyakinkan, maka pernyataan lanjutan
warga akan semakin menusuk jantung !
“Mai ka nahu weki”
“Mai ka loa weki ngau”
“Mai ka tada heba”
Jika sudah begitu ! warga
biasanya suka nambahin bumbu sedap dalam selipan komentarnya !
“Au iu kai na weki",
"Nee cedo ngoru",
"Nee kacaru iu
lalo",
"Wara losa
howimu",
Dan kalimat pamungkas warga
biasanya begini !
"Ausi bade dou ta ari
urusan isi uma ndai"
Ungkapan-ungkapan bernada
sindiran dan cibiran tersebut di atas, semacam sederetan kecil bagaimana
gambaran penolakan warga untuk mengungkapkan ketidakrelaanya terhadap FIGUR
PENDATANG yang tiba-tiba ingin memimpin di bima akibat ada peluang karena
momentum bukan karena nawaitu yang di bangun dan diikhtiarkan.
Fakta lain kenapa para
figure pendatang begitu sulit bertarung dengan figure local yang lama melintang
dan hidup di kota bima (darah, tulang dan dagingnya) bahkan terbentuk dari air
dan tanah bima adalah bahwa ada semacam filosofi sediri terkait dengan
geografis kota bima ! kota bima jika di ibaratkan "KATOTU" maka pintu
masuknya kecil didalamnya besar ! dalam katotu tersebut telah hidup ikan ikan
besar yang menguasai katotu tersebut, maka ketika ada ikan besar baru yang
ingin masuk menguasai kehidupan para ikan-ikan dalam katotu tersebut dapat
dipastikan bahwa ikan besar baru tersebut akan dilibas oleh gerombolan ikan
besar yang telah terlebih dahulu hidup dan besar dalam katotu tersebut.
Perumpamaan “KATOTU” ini
semacam realitas yang seolah-olah telah menjadi hukum tak tertulis di tanah
Bertuah (kota Bima). Oleh karenanya ! bagi para FIGURE PENDATANG, kalembo ade
jika nanti pasca bertarung mengadu nasib di tanah bertuah, harus kembali dengan
oleh-oleh yang "MENGECEWAKAN"(**)
Post a Comment