Membangun Kembali Gerakan Mahasiswa Progressif
Ditengah upaya memajukan
tenaga-tenaga produktif nasional sebagai syarat untuk berkembang maju,
pemerintah justru menyerahkan pendidikan nasional pada mekanisme pasar.
Akibatnya, pendidikan semakin mahal dan rakyat kebanyakan sulit mengaksesnnya,
Pendidikan pun makin selaras dengan kepentingan akumulasi modal.
Lebih jauh lagi, penetrasi
neoliberalisme juga mengubah orientasi pendidikan: pendidikan tak lagi
mencerdaskan kehidupan bangsa, namun menyiapkan “pasukan cadangan” untuk pasar
tenaga kerja. Seiring dengan itu terjadi penghancuran terhadap kesadaran kritis
mahasiswa. Alhasil, mayoritas mahasiswa kita saat ini kehilangan ‘kepekaan’
terhadap persoalan rakyat.
Mahasiswa menganggap
lingkungannya terpisah dengan rakyat. Dalam lingkungan akademis yang
terkungkung itu, mahasiswa dipaksa fokus pada urusan studi dan mempersiapkan
‘bekal’ untuk merespon pasar tenaga kerja. Jadinya, tujuan tertinggi mahasiswa
tak lain adalah ijazah, Sementara aspek pengabdian rakyat dianggap tidak
penting.
Ironisnya, perubahan
dinamika di kampus cukup mempengaruhi sebagian aktivis mahasiswa. Diantara
mereka banyak yang berfikiran pragmatis. Bagi mereka ini, keterlibatan mereka
dalam ‘gerakan’ tak lebih sebagai batu loncatan guna mencapai karir yang bagus.
Tidak sedikit aktivis mahasiswa yang terjerumus dalam relasi ‘abangisme’.
Tantangan Pembangunan
Gerakan Mahasiswa Progresif Cengkeraman neoliberal di dunia perguruan tinggi
makin menguat. Sayangnya, proses itu tidak menghasilkan perlawanan yang massif.
Hampir sebagian besar mahasiswa merasa ‘cuek’ dengan persoalan ini, Lihat saja
ketika gerakan ramai-ramai menolak UU BHP dan RUU Perguruan tinggi.
Padahal, di belahan dunia
lain, agenda memperdagangkan pendidikan memicu kelahiran gerakan protes meluas,
seperti di Chili, Kolombia, Quebec (Kanada), Inggris, dan Meksiko.
Gerakan mahasiswa di
Indonesia gagal membangun aksi protes meluas. Kalau bukan karena proses legal,
yakni uji materi di MK, mungkin UU BHP tidak tertolak. Beberapa penyebab kelemahan
gerakan mahasiswa ini bermuasal dari relasi sosial yang ada di dalam kampus.
Kita bisa melihatnya sebagai berikut.
1. Telah terjadi
pergeseran struktur klas dalam kehidupan
kampus; neoliberalisme menggusur mahasiswa menengah dan miskin dari dalam
kampus. Lalu, yang dominan sekarang adalah kalangan kelas menengah dan menengah
keatas. Mereka sangat sulit diajak berempati dengan berbagai persoalan kampus.
Apalagi persoalan massa rakyat. Mereka menciptakan kebudayaan elit dan hedonis
di dalam kampus.
2. masih munculnya sisa-sisa
budaya feodal dan reaksioner dalam lingkungan universitas. Terjadi relasi
bersifat vertikal, seperti ‘abangisme’ alias senior-yunior, yang sangat
menghambat kemajuan dan kreativitas.
3. hilangnya budaya ilmiah
di dalam kampus seperti tradisi membaca, berdiskusi, bedah buku, menganalisa
keadaan sosial, dll. Hal ini menyebabkan mahasiswa sangat miskin gagasan dan
begitu tumpul dalam membaca keadaan di sekitarnya. Dampak lebih jauhnya
mengarah pada krisis teori dan pengetahuan di kalangan massa mahasiswa.
Ini berbuntut pula pada
kemampuan gerakan mahasiswa menganalisa keadaan, merumuskan program, dan
menetapkan strategi-taktik. Pada demonstrasi anti-kenaikan BBM lalu, kita
melihat gerakan mahasiswa lebih menonjolkan “amarah” ketimbang bentuk aksi
kreatif dan isian propaganda yang mengena pada rakyat.
4. melemahnya atau
berkurangnya panggung-panggung perlawanan di dalam kampus, seperti mimbar
bebas, diskusi, rapat akbar, dan lain-lain. Akibatnya, gerakan mahasiswa
progressif seolah terisolasi. Sedangkan yang berkembang dalam beberapa tahun
terakhir adalah gerakan mahasiswa fundamentalis.
Dalam rangka Menerobos
hambatan Harus ada jalan keluar terhadap situasi ini. Sebab, persoalan bangsa
sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Apalagi, sejarah mengajarkan, gerakan
mahasiswa di Indonesia punya andil besar dalam menciptakan momentum perubahan.
Bagi saya, yang terpenting
saat ini adalah bagaimana membuat mahasiswa menyadari keadaan dan bangkit
melawan. Ada beberapa langkah penting yang saya ajukan:
Pertama, gerakan mahasiswa
progressif harus kreatif menciptakan panggung-panggung gerakan di kampus:
mimbar bebas, orasi keliling, panggung seni kerakyatan, diskusi dan debat-debat
mahasiswa, dan lain-lain.
Penciptaan panggung ini
dalam kerangka “Mempolitisasi” kampus agar bisa bergerak. Sebab, seperti
dikatakan Karl Marx, “Bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaan
mereka, tapi keberadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka”.
Disamping itu gerakan
mahasiswa progressif harus pandai merebut berbagai alat-alat organisasi (BEM,
UKM, klub-klub diskusi, dll) dan alat-alat ideologis (pers, mading-mading,
radio kampus, dll) di kampus.
Perebutan alat-alat itu
penting dalam kerangka memastikan organisasi mahasiswa progressif bisa
menjangkau massa luas. Ini juga bisa menjadi sarana legal untuk menciptakan
panggung-panggung sebagaimana dimaksud point pertama di atas.
Begitupun selanjutnya
mendorong pembangunan klub-klub diskusi sebagai saranan membangkitkan budaya
kritis di dalam kampus. Di era 1920-an, klub diskusi sangat berperan dalam
merangkai lahirnya gerakan politik. Partainya Bung Karno, Partai Nasional
Indonesia (PNI), bermuasal dari klub diskusi.
Klub diskusi ini juga bisa
diselenggarakan di asrama dan rumah-rumah kost mahasiswa. Tema yang dibahas bisa
disesuaikan dengan kebutuhan anggota klub diskusi. Intinya: asalkan mereka mau
berdiskusi dulu.
Selanjutnya yaitu
keterlibatan dalam berbagai ajang-ajang yang diselenggarakan kampus, seperti
pementasan seni, penyambutan mahasiswa baru, pekan olahraga, kuliah umum, dan
lain-lain, dalam kerangka mendorong ajang ini bergerak lebih maju.
Itulah beberapa jalan yang
sangat mungkin dilakukan untuk memajukan kembali gerakan mahasiswa progressif.
Selamat berjuang.(**)
Penulis : Rusdianto, Koordinator Kajian dan Bacaan Eksekutif Nasional Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi (LMND) Pusat
Post a Comment