Perayaan Hari Jadi Bima, Antara Pesta Rakyat dan Derita Rakyat
Oleh : Ibrahim, Mantan Ketua Bidang PTKP HMI Cabang Bima 2016 - 2017 |
Semestinya sebagai manusia
yang menggantungkan setiap kehidupannya kepada Sang Pencipta yang menciptakan
segalanya, perlu berSyukur atas semua
Rahmat dan HidayahNya.
Dengan berSyukur, setidaknya
kita tidak menghianati dan tidak mendustakan Surah Ar-Rahman Ayat Ke 55 (Maka
nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan)
Interprestasi Ayat di atas
ini juga yang mungkin coba diekspresikan oleh Pemerintah Kab. Bima pada saat
hari jadi Bima yang Ke- 378.
Namun dibalik bentuk
perayaan yang begitu megah nan fantastis hanyalah sebuah perayaan (syukuran)
serimonial semata, yang kering dan kosong akan subtansi dan nilai dari sebuah
perayaan tersebut.
Kenapa Saya mengatakan ini
hanya sebuah SERIMONIAL semata ??? Karena bentuk perayaan yang disajikan hanya
berlaku dan diingat pada saat itu saja tanpa itu dijadikan sebagai sebuah
pedoman nilai kehidupan setiap hari.
Sebut saja bentuk perayaan
dalam aspek budaya, misalnya :
Budaya seperti yang dimaksudkan
oleh Jonh Naisbith dalam sebuah artikelnya tentang Budaya mengatakan bahwa
budaya ada dalam bentuk FUN, FOOD Dan FASION.
Kalau kita coba mengaitkan
dengan pendapat di atas maka budaya yang berupa :
1. Fun, budaya Fun di Bima
berupa rebana, gantao biola, hadra dll.
2. Food, dalam bentuk
makanan seperti uta sepi, karamba, doco fo'o,
doco mangge, oi mangge dll.
3. Fasion, misalnya rimpu.
Dari ke 3 bentuk budaya Bima
yang sering di pentaskan dari setiap momentum seperti saat hari jadi Bima hanya
sebuah pertunjukkan yang menipu dan fatamorgana saja sebab kalau saya mengutip
katanya Kakanda Alfi Syahrin bahwa untuk membuat sebuah budaya terus di
lestarikan tidak cukup dengan pertunjukkan yang bersifat momentum saja
melainkan perlu ada 3 langkah yang harus di lakukan, 1. Internalisasi budaya
oleh setiap masyarakat. 2. Eksternalisasi budaya yaitu menjadikan setiap budaya
sebagai aktifitas kehidupan kita. 3. Alkulturasi budaya adlah sebuah perpaduan
budaya sehingga mengasilkan budaya baru tanpa menghilangkan sifat dan nilai
dari keaslian budaya.
Kemudian yang menjadi
pertanyaan saya adalah apakah pernah pihak pemerintah daerah melakukan ke 3 hal
diatas ??? Lalu kapan di lakukkan? Kalaupun sudah di lakukkan apa buktinya
kongkritnya?
Yang ada pihak pemerintah
seolah - olah lepas tangan dalam melestarikan budaya bima, masyarakat di buat
jalan sendiri dalam menjaga budayanya itupun masyarakat juga sudah mulai lepas
tangan dengan terhadap budaya dengan tidak adanya perhatian pemerintah dan arus
globalisasi sehingga budaya Fun, Food dan Fasionnya di ganti dengan budaya
kebarat - barattan yang cenderung kehilangan kekosongan nilai dan ini tanda
matinya sebuah budaya. Lihat saja, di hampir setiap kecamatan rata2 sudah
kehingan identitas budaya dari setiap aktifitas kesehariannya.
Ingat! Jika budaya mati
sebuah peradaban jugapun akan punah (Affat Al-Syarqawi).
Selanjutnya bahwa hemat
saya, perayaan hari jadi bima kemarin hanyalah sebuah perayaan serimonial yang
tak bernilai dan hanya menghabiskan anggaran daerah, apa lagi adanya hiburan
dan pasta yang cenderung dengan cara - cara hedonisme yang kontra dengan budaya
Bima.
Di tengah meriahnya pesta
tersebut pemeritah juga merampas dan menghilangkan warung2/kios kios Ibu ibu
yang berjualan di pigiran jalan, mencari
nafkah di sekitaran area perhelatan Tahunan itu, yang seharusnya agenda besar
Kab. Bima ini diharapkan mampu meningkatkan pendapat masyarakat di sekitar itu.
Belum lagi desain kegiatannya
yang terkesan amburadur.
Potret ini menandakan sifat
apatisnya pemerintah daerah yang seakan2
Idiot, Lupa, Buta, Tuli dan Buta" terhadap kondisi dan keadaanya yang di
alami oleh masyarakatnya.
Idiot, Lupa, Bisu, Tuli dan
Buta" juga terhadap kemiskinan, pengangguran, konflik, kekeringan, harga
obat - obat2 naik, harga tomat, cabe, bawang merah dll anjok, petani makmur
hanyalah sebuah utopis.
Mereka hanya mementingkan
kelompok dan antek-anteknya.
Kalau kita lihat angka dari
hari jadi bima ini memiliki kode alam tersendiri karena kalau kita
mengkaitkannya dgn bunyi pasal 378 maka rezim ini memang rezim yang kejam dan selalu
mengeksploitasi rakyat. Hal itu juga pernah di ungkapkan oleh saudara Harmoko
dalam FB nya.
Saat ini rakyat mungkin
masiha sabar tp jika ini terus di biarkan maka tidak tutup kemungkin akan
terulang kembali kejadian yang di alami oleh almarhum DAE FERRY kemarin
(pembakaran Kantor Bupati Bima oleh masyarakat)
Dalam logika bodohnya saya
perayaan hari jadi bima gak usah terlalu berlebihan untuk bereforia yang tidak
jelas, mendingan simpan saja energi, tenaga, pikiran dan anggaran untuk
menuntaskan masalah daerah yang sudah kronis dan ironis ini.
Perayaan kemarin sampulnya
"Pesta Rakyat" tapi isinya adalah “derita rakyat" atas penindasan
yang dilakukan oleh pemerintah.
Sebelum kesabaran rakyak
tidak ada lagi lebih baik fokus selesaikan semua masalah yang ada agar Bima "Ramah"
tidak berubah menjadi Bima "Marah".(*)
Post a Comment