Bima RAMAH Hanya Perawatan Kekuasaan
Penulis: Ardiansyah (Zangaji Sape)
|
Perangkat kekuasaan
merupakan kekutan politik. Menjelang pilkada kabupaten bima kekosongan kadis di
3 dinas merupakan indikasi persiapan mutasi serentak menjelang pilkada 2020.
Menyiapkan perangkat pemenangan disetiap jenjang hingga kekecamatan merupakan
stategi dalam menyusun perangkat politik. Keterlibatan aktif para abdi negara
ini sebagai perangkat kekuasaan mewarnai percaturan politik didaerah, padahal
jelas – jelas dalam Undang-undang melarang keterlibatan secara langsung dalam
pilkada maupun pilpres. Independensi ASN sebagai abdi negara justru hilang
akibat dari besarnya nafsu meraih jabatan.
Membuang indepedensi sebagai
abdi negara pelayan masyarakat untuk di tempatkan pada bidak catur politik tidak lagi menjadi hal yang luar biasa, siap
menang siap kalah siap di lempar jauh bahkan di nonjob sudah menjadi hukuman
bagi abdi rakyat dalam pilkada, ini sudah menjadi konsekuensi bagi mereka yang
tidak mendukung.
Besarnya pengaruh politik
dan kekuasaan mengakibatkan birokrasi di
kabupaten bima tidak pernah tenang dan profesional dalam bekerja birokrasi
selalu saja dihantui rasa was-was dan intimidasi politik kepentingan , ketika
birokrat gagal dalam memgawal kepentingan pemimpin maka konsekuensinya adalah
terbuang bahkan tak terpakai. Maka dari itu birokrasi cenderung lebih sibuk
melayani penguasa dari pada menjalankan fungsi utamanya sebagai pelayan
masyarakat. Oleh karena itu, wajah
birokrasi pemerintah di kabupaten bima dari dulu hingga kini boleh dikatakan
belum menunjukkan perubahan yang cukup berarti.
Birokrasi tetap diliputi
berbagai praktik penyimpangan dan ketidakefisienan. Birokrasi kita sekarang ini
dalam banyak hal masih menunjukkan ”watak buruknya” seperti enggan terhadap
perubahan (status quo), eksklusif, rigit dan terlalu dominan, sehingga hampir
seluruh urusan masyarakat membutuhkan sentuhan-sentuhan birokrasi, yang secara
umum kemudian dipersepsikan memiliki konsekuensi inefektifitas dan inefisiensi.
Perilaku melayani dan
mengayomi tak lagi menjadi moto sebagai spirit birokrasi untuk bekerja
membangun daerah. Citra dan reputasi birokrasi seakan sama dengan pelayanan
pasar tradisional bagi masyarakat, hal semacam ini tidak boleh dibiarkan terus
menerus yang akan mengakibatkan daerah ini terus tergerus dan bahkan jauh dari
kata maju.
Hal ini diakibatkan
politisasi birokrasi yang sudah menjadi budaya di kabupaten bima, transaksional
birokrasi menjadi penyakit dikala daerah butuh penyegaran – penyegaran pada
tingkat pelaksana kepemrintahan. Penempatan – penempatan pejabat yang tidak
kompeten pada bidangnya menjadi indikator betapa buruknya kemampuan Bupati Bima
Hj. Indah Damayanti Putri dalam mengelola dan memanfaatkan SDM yang ada di
tubuh pemerintahan daerah.
Bupati selaku pemimpin
tertinggi di tingkat kabupaten merupakan penanggungjawab penuh roda
kepemerintahan. Dalam menjalankan pemerintahannya bupati diberikan kewenangan
untuk mengurusi urusan pemerintahannya sendiri atau yang sering kita sebut
dengan desentralisasi. Dengan demikian, prakarsa wewenang, dan tanggung jawab
mengenai urusan-urusan yang diserhakan sepenuhnya menjadi tanggung jawabnya,
baik mengenai kebijakan politik, perencanaan, dan pelaksanaannya maupun
mengenai pembiayaannya atau kebijakan anggaran.
Kebijakan politik Hj. Indah
Damayanti Putri dalam menempatkan SDM yang sesuai kompetensi dan kemapuannya
masih sangat jauh dari kata HANDAL dan AMANAH, kebijakan reformasi birokrasi
yang menjadi angin segar untuk pelayanan dan percepatan pembangunan justru
terhenti menunggu momen persiapan pilkada berikutnya, ini juga memberikan andil
pada gagalannya medorong birokrasi yang handal dan prima seperti cita-cita pada
visi BIMA RAMAH. Konsekuensi dari semua itu adalah pincangnya roda organisasi
tersumbatnya informasi-informasi serta lambannya gerak BIMA RAMAH yang
diharapkan menjadi solusi Kabupaten Bima selama kepemimpinan Hj. Indah
Damayanti Putri.
Konsekuensi lain dari
bobroknya tata kepemerintahan di kabupaten bima justru tidak akan mewujudkan
cita – cita otonomi daerah, good local governance yang menjadi harapan besar
otonomi justru makin tak dapat digapai apabila Hj. Indah Damayanti Putri masih
menggunakan kebijakan “balas jasa & balas budi” sebagai konsekuensi politik
pasca pilkada lalu. Dan itu semua akan sirna apabila Hj. Indah Damayanti Putri
tetap merespon kepentingan politik partai ketimbang mengedepaankan kepentingan
pembangunan daerah ini.
Dengan tiga tahun
berjalannya kepemimpinan Hj. Indah Damayanti Putri di Kabupaten Bima inipun
masih menyisahkan banyak persoalan serta janji – janji politik yang belum
terealisasi bahkan ekonomi kretaif dan pembukaan lapangan kerja baru masih jauh
dari ekspektasi, keberpihakan anggaran pada sektor-sektor pendidikan, ekonomi
masih juga sangat minim yang mengakibatkan kegagalan tercapainnya visi BIMA
RAMAH.
Akhir kata dalam tulisan ini
BIMA RAMAH hanya RAMAH pada tingkat kepentingan perawatan kekuasaan semata.
Sehingga solusi dari probelamatika kabupaten bima kedepan hanyalah pergantian
pemimpin yang memang memiliki integritas dan kecakapan keilmuan untuk membangun
Bima yang gemah ripah lohjinawi.(*)
Post a Comment