Waspadai Penyebaran Penyakit Typus Pipengungsian
Mataram,
Media NTB - Pada paruh Minggu kedua usai Gempa KLU tgl 5
Agustus 2018 , penyakit diare, ISPA dan gatal-gatal kulit/koreng mulai menjangkiti sejumlah lokasi kamp
pengungsian , khususnya di Lombok Utara. Hal terjadi karena kurang hygienisnya
sanitasi dan kondisi lingkungan di lokasi pengungsian.
Menurut dr Danang dari Tim
Medis NU Peduli menilai merebaknya kasus Diare dan gatal kulit saat itu
diduga bersumber aktivitas di hulu muasal air yang di distribusikan ke
sejumlah lokasi pengungsian yang tidak hygienis dari sisi kesehatan .
"Awal-awal terjadi
gempa di KLU banyak pengungsi yang memanfaatkan sungai di KLU sebagai MCK
karena kondisi yg darurat. Kemudian di hilir sungai itu diambil airnya untuk
didistribusikan ke sejumlah pengungsian ataupun yang langsung memakai air
dikali tersebut ," ujar Dr Danang , Selasa 28/8 di Posko NU Peduli , Aula
PW NU .
Selanjutnya dr Danang
mengatakan untuk aktivitas masak dan keperluan minum diakui air yang dipasok
tersebut dimasak secara baik. " Tapi problemnya justru air untuk
cuci tangan dan mandi memakai air yg tidak bersih tersebut . Inilah
salah satu penyebab munculnya penyakit
diare atau gatal2 ," tambahnya .
Meskipun demikian , dr
Danang mengakui saat ini penyakit diare dan ISPA sudah bisa ditekan berkat
kesadaran pengungsi merubah perilaku hidupnya untuk lebih sehat. Selain itu
mulai terpasangnya sejumlah MCK di lokasi pengungsian berkontribusi menekan
penyebaran penyakit ISPA , diare dan gatal-gatal.
"Justru ada indikasi
munculnya gejala penyakit typus akibat menumpuknya sampah di pengungsian yang
mengundang lalat sebagai biangnya ," bebernya .
Menurut dokter muda dari
UNIBRAW ini permasalahan kesehatan di lokasi pengungsian sangatlah kompleks dan
sulit diduga timbulnya berbagai penyakit yang muncul. Hal ini tentu terkait
dengan daya tahan ataupun imunitas tubuh masing-masing pengungsi yang berbeda.
"Secara umum , makin
bersih sanitasi dan pola hidup sehat dilingkungan pengungsian , maka daya tahan
tubuh juga makin memiliki imunitas dalam menghadapi penyakit ," tambahnya.
Untuk mencegah menyebarnya
penyakit khas di pengungsian tersebut lanjut dr Danang , Tim Medis NU Peduli
selain melakukan upaya kuratif yakni menyembuhkan penyakit yang itu juga
melakukan upaya preventif (pencegahan) terhadap menjangkitnya penyakit, baik
melalui aksi kongkret dilapangan ataupun penyuluhan.
"Selain itu juga
melakukan upaya rehabilitasi pasien yg terdampak agar makin sehat dan paripurna
kondisi kesehatannya," ungkapnya.
Trauma
Healing Ala NU Peduli
Terpisah , psykolog dari Tim
NU Peduli, Rakimin S.Psi, M.Si dan Koordinator NU Peduli Lombok , Anik Rifqoh
mengatakan secara umum psykologi sosial
korban gempa Lombok yang di kunjungi dan
observasi masih berlangsung dengan normal . Interaksi psyko sosialnya
masih berjalan dengan bgmn baik . "Kasus traumatik sebelum dan sesudah
gempa tidak terlalu nampak dibeberapa tempat yg diassesment NU Peduli,"
kata Rakimin yang didampingi Anik Rifqoh dari PB NU.
Rakimin menambahkan tentang arti penting harmonisasi hubungan
sosial sebelum bencana tiba. Sehingga
paska gempa mereka saling melakukan interaksi sebagai sesama korban gempa tanpa
membuat sekat sosial.
"Ketakutan terhadap
gempa ataupun efek -efek kehilangan
materi atas gempa itu ternyata intens mereka bicarakan bersama meskipun mereka semua menjadi korban sebelum psyko sosial itu muncul. Maka konten
trauma healing psyko sosial yang
dilakukan harus membangkitkan kesadaran inter personal ya secara baik," Sambung Anik Rifqoh.
Psykolog muda NU ini
kemudian memberikan ilustrasi bahwa korban gempa itu ibarat orang yang semrawut
dan penuh masalah . Maka caranya jangan menghimpun masalah tersebut tetapi
bagaimana mencairkan masalah itu , berpikiran positif terhadap Tuhan , termasuk
mencari solusi bersama jika gempa itu muncul kembal ," tambahnya.
Menurut Rakimin menjelaskan dalam berbagai kasus melakukan
trauma healing pada korban bencana alam
akan lebih efektif jika didahului dengan bantuan kemanusiaan. " Hal
ini wajar karena para korban bencana alam memiliki harapan terhadap setiap
orang yg punya kepedulian terhadap nasibnya ," jelasnya.
Selanjutnya Rakimin mengatakan dalam kasus korban gempa dilombok , orang tua
jauh lebih sulit proses penyembuhannya untuk Therapi trauma healingnya
dibanding anak -anak.
"Untuk kasus orang tua
ini , tim trauma healing NU Peduli tidak
menyatukan para orang tua itu untuk di Therapi tapi didatangi satu
persatu. Hal ini karena orang tua memiliki ego yang kuat. Meskipun dia butuh
tapi tidak mau mengungkapkan problemnya jika harus disatukan," ujar
Rakimin yang memiliki pengalaman menangani psyko sosial untuk korban tsunami
Aceh, gempa Pangandaran maupun gempa Jogyakarta .
Dalam konteks Gempa Lombok,
lanjutnya penanganan trauma healing untuk para orang tua akan efektif dilakukan
pada malam hari dan tidak dilakukan dalam kerumunan ditenda pengungsian.
"Kita biasanya
mencari celah dan kesempatan ketika ada
pasien dewasa tidak berkerumun ditenda , saat itulah kita ajak ngobrol dan
eksplorasi uneq-uneqnya melalui metode
katarsis ," imbuhnya.
Baginya proses penyembuhan trauma healing untuk
korban bencana memerlukan waktu kurang
lebih satu bulan dengan per sekali kunjungan minimal 1,5 jam. "Untuk anak
-anak model pendekatan psyko sosial trauma healingnya lebih mudah karena
rata-rata anak korban gempa yang dikunjungi tidak menunjukkan gejala traumatik
akut atau phobia yang berlebihan paska gempa," pungkasnya.
Sementara itu Ketua Tim NU
Peduli , Baiq Mulianah menginformasikan saat ini sedang melakukan proses
assesment untuk beberapa titik pengungsian yang dijadikan kawasan dampingan NU
Peduli secara terpadu untuk enam bulan ke depan.
"Insya Alloh NU Peduli
tetap melakukan upaya pemulihan dan rehabilitasi untuk dibeberapa titik korban gempa dengan metode 5 Klaster yang sudah dipersiapkan,".
Tutupnya.(Uchok)
Post a Comment