HBK : Jangan Sampai Ekonomi Bangsa Ini Seperti Di Venezuela
Mataram,
Media NTB - Krisis ekonomi yang melanda Venezuela, salah
satu Negara maju kaya minyak yang dalam beberapa dekade ini mampu memberikan
subsidi beragam kebutuhan masyarakatnya, kini kolaps di sektor ekonomi.
Kurs mata uang Bolivar
Perkasa yang dulunya mampu mengungguli mata uang sejumlah negara, kini takluk
pada semakin kokohnya Dolar Amerika (USD). Sejak pertengahan Agustus 2018,
Venezuela pun takluk pada kekuatan Adi Daya.
Kemewahan, kenyamanan dan
kemanjaan masyarakat Venezuela kini berbalik miris. Hidup disana seperti tercekik
harga, lantaran sebagian besar komoditi diimpor dari luar negeri dengan patokan
harga pasar yang mengacu pada Dollar Amerika Serikat (USD).
Keputusan Presiden Nicolas
Maduro untuk menerbitkan mata uang Bolivar Baru, pun tak banyak berpengaruh.
BBC melaporkan, untuk
secangkir kopi di Restaurant yang dulunya seharga 25 Bolivar, kini baru bisa
dinikmati dengan merogoh kocek 2,5 juta Bolivar.
Ketua Badan Pengawas dan
Disiplin (BPD) Partai Gerindra, H. Bambang Kristiono (HBK), Jumat ( 16/11)
mengatakan, krisis ekonomi di Venezuela bisa menjadi pelajaran berharga untuk
bangsa Indonesia, dan HBK mengajak seluruh rakyat Indonesia untuk sama-sama
mengantisipasinya agar hal serupa tidak terjadi di bumi Nusantara ini.
"Anjloknya perekonomian
Venezuela tidak terlepas dari praktek-praktek mis-management dalam pengelolaan
sumber-sumber kekayaan negara, serta perilaku korup pada elit-elitnya.
Indonesia jangan sampai seperti itu", tegas HBK.
Menurutnya, Venezuela yang
selama ini merupakan salah satu negara makmur di kawasan Amerika Selatan,
tiba-tiba ambruk dilanda krisis likuiditas keuangan akibat dari anjloknya harga
minyak bumi yang selama ini menopang sumber pendapatan utama negara itu.
Hal ini terjadi seketika dan
Venezuela juga tidak mempersiapkan diri mencari sumber pendapatan lain selain
minyak bumi. Sementara, masyarakatnya sudah terlanjur manja dengan kehidupan mewah
dari subsidi-subsidi yang diberikan pemerintah.
"Rakyat Venezuela
terbiasa hidup dengan berbagai subsidi, dan dimanjakan oleh negaranya. Akibatnya,
ketika krisis ekonomi melanda negara Venezuela, pemerintahnya tidak sanggup
lagi membiayai rakyatnya dan rakyat Venezuela mengalami keterpurukan secara
masive. Generasi muda Venezuela tidak
ada lagi yang mau jadi petani, cita-cita mereka adalah menjadi selebriti",
kata HBK.
HBK menegaskan, karena
fundamental ekonomi Venezuela tergantung hanya pada sektor migas, tidak
membangun fundamental ekonomi alternatif, maka tak heran kalau kemudian negara
itu rentan terhadap goncangan ekonomi global.
Penyebab dan indikasi krisis
yang terjadi di Venezuela, papar HBK, hampir mirip dengan ancaman yang sangat
mungkin terjadi di Indonesia. Ada tiga hal yang perlu diungkap dan diwaspadai
bersama yaitu jeratan hutang yang semakin menumpuk, likuiditas yang sangat rendah
(negara tidak memiliki uang), serta nilai mata uang terhadap Dollar Amerika
Serikat (USD), yang semakin tidak terkendali.
Ia menjelaskan, apa yang
terjadi di Venezuela adalah salah satu akibat ketergantungan negara pada satu
sektor pendapatan negara tanpa melakukan diversifikasi pemasukan ekonomi produktif
untuk menopang kekuatan ekonomi negara.
"Pemerintah Venezuela
juga abai membelanjakan atau menginvestasikan sumber daya negara untuk
pengembangan SDM warga masyarakatnya", tambahnya.
Di lain sisi, pemerintah
Venezuela justru sibuk memanjakan rakyatnya dengan aneka subsidi yang membuat
sebagian besar rakyat Venezuela menjadi malas. Akibatnya, saat pendapatan
negara mengalami kemerosotan dan tidak lagi mampu membiayai hajat hidup
rakyatnya, maka yang terjadi adalah kesengsaraan hidup rakyat secara massal.
Kekuatan
Pertanian Indonesia
Selanjutnya HBK menegaskan,
belajar dari pengalaman negara Venezuela, sudah saatnyalah Indonesia kembali ke
potensi sejati ekonominya, yakni sektor pertanian secara luas.
Sebab, tandas HBK, potensi
sektor ini sangatlah luar biasa dan bisa diberdayakan, dimanfaatkan secara
berkesinambungan.
"Cadangan minyak bumi
yang berasal dari fosil itu, pasti akan habis. Tapi mengelola pertanian bisa
berlangsung terus menerus dan berkesinambungan sampai ke generasi-generasi yang
akan datang. Karena itu saya pikir, Indonesia dan masyarakat Indonesia harus
kembali ke keaslian dan keunggulan potensi kita. Kita ini bangsa agraris yang
dikaruniai kesuburan tanah untuk dikelola, bukan ditinggalkan atau
diabaikan", katanya.
Apa yang disampaikan HBK,
bukan tanpa alasan. Sampai saat ini, Indonesia masih saja terus melakukan
import komoditi pertanian dari luar, di saat komoditi itu sebenarnya bisa
diproduksi di daerah-daerah kita sendiri dalam menopang kebutuhan nasional.
Sebut saja komoditi bawang,
atau komoditi jagung yang untuk kebutuhan pakan ternak, yang tahun ini juga
masih terkoreksi impor.
"Padahal jagung luar
biasa melimpahnya di NTB ini, dan juga bawang. Ini menjadi ironis, karena ketika
para petani bawang dan jagung kita di NTB teriak karena harga anjlok akibat
melimpahnya hasil produksi, pemerintah kita di tingkat nasional masih saja
memaksakan import dari luar", kata dia.
Meskipun banyak sekali
tantangannya untuk kembali mengembangkan sektor pertanian di Indonesia,
khususnya di P. Lombok ini, HBK tetap optimistis karena jika itu bisa dilakukan
dengan kesadaran kolektif oleh segenap masyarakat Indonesia, hal itu akan
terwujud.
"Percayalah, hanya
pertanian yang akan bisa menjadi tumpuan kekuatan bangsa ini kedepan apabila
krisis datang. Sekarang tinggal mau atau tidak, kita mengelolanya dengan sungguh-sungguh
dan dengan manajemen yang tepat". Tutupnya.(M)
Post a Comment