CORETAN 2 MEI
Oleh Ibrahim (Mantan Kabid PTKP HMI Cabang Bima 2016 - 2017) |
Pada zaman penjajahan rakyat
selalu berada dalam kondisi keterpurukan, perbudakan, penindasan dan pembodohan
secara massal.
Realitas ini berjalan dalam
kurung waktu yang cukup lama dan tentunya menguras serta merampas segala sumber
daya yang ada.
Potret kehidupan rakyat
selalu di isi dengan kekurusan fisik dan krisis pengetahuan akan pentingnya
nilai - nilai kebebasan.
Setelah sekian lama
menghadapi pergulatan dalam dunia buta huruf yang aman mencekam, ahirnya pada
tanggal 2 mei 1922 Raden Mas Soewardi mendedikasikan dirinya dengan mendirikan
institusi pendidikan yang bernama Sekolah kerakyatan di Yogyakarta. Dan pada
saat itu juga ditetapkanlah tanggal 2 mei sebagai hari Pendidikan Nasional.
Semangat Yang Dibangun Oleh
putra putri terbaik bangsa saat itu adalah bagaimana kemudian rakyat indonesia
melepaskan jubah kebodohan, keterbelangan dan melawan penjajah yang pada
ahirnya sebuah kemerdekaan mampu diorbitkan diatas bumi pertiwi.
Semangat yang ditelorkan
oleh para pahlawan pendidikan terdahulu sampai kini masih diwarisi oleh setiap
generasi bangsa, itu terlihat dari setiap tahunnya hari Pendidikan tetap
diperingati.
Namun dalam hal implementasi
esensi dari hari Pendidikan itu sendiri masih bersifat tabu bagi setiap elemen
bangsa hari ini.
Sebab kalau kita melihat
dengan bingkai Pendidikan yang lebih dalam maka kita akan menemukan sebuah
lukisan pendidikan yang sangat kusam.
Sebuah perayaan hari
Pendidikan kita setiap tahunnya hanya terkaku pada sesuatu yang bersifat
seremonial semata dan perubahannya hanya terletak pada perubahan sebuah tema
bukan pada subtansinya, kemudian perayaan yang semacam ini hanya sebatas
menghabiskan anggaran rakyat secara percuma atau sia - sia.
Mungkin ada yang bertanya,
kenapa seperti itu ???
Pertanyaan ini saya akan
coba menjawab sesuai dengan fakta pendidikan kita saat ini.
Kita tidak perlu mengambil
sebuah tesis yang jauh dari penglihatan dan pendengaran kita, cukup dengan kita
melihat kondisi pendidikan didaerah kita.
Tercatat di setiap pelosok
desa yang ada di daerah kita hampir tidak merasakan bagaimana indahnya dunia
pendidikan yang sesungguhnya. Seperti salah satu sekolah yang ada di tambora,
di ujung langgudu yaitu sekolah yang ada di desa karampi termasuk sekolah yang
ada di kecamatan lambitu dan mungkin masih banyak lagi sekolah - sekolah yang
masih diperlakukan dengan setengah hati.
Beberapa sekolah di atas
fasilitas, sarana dan prasarananya seperti gedung, buku - buku serta tenaga
pendidiknya masih sangat terbatas sekali.
Namun ada sisi yang perlu sekali
kita apresiasi keberadaan sekolah itu adalah semangat siswa - siswanya yang
selalu membara di setiap jiwa mereka tanpa mempedulikan jarak yang jauh yang
mereka tempuh, melewati gunung, menyeberangi sungai yang deras dan bahkan
melewati kiloan hutan.
Saya melihat spritnya mereka
ini sama seperti motivasinya para pelopor pendidikan terdahulu, walau sekolah
masih sedikit tapi semangat mereka mengeluarkan diri dari jeruji pendidikan
tidak pernah surut walau apapun yang menghadang mereka.
Problem yang terjadi di
sekolah yang ada di pelosok daerah tidak sama dengan persoalan yang digambarkan
di sekolah - sekolah yang ada dipusat daerah.
Kalau di sekolah yang penuh
dengan segala kemewahan fasilitas, sarana dan prasarana hanya terletak pada
karakter siswa yang amoral dan tindakan - tindakan tidak terpuji seperti murid
yang berani memukul gurunya, murid yang suka mengkonsumsi barang - barang
terlarang, tawuran, balapan liar dan masih banyak lagi seberat masalah yang
diciptakan oleh siswa zaman now.
Penyebab dari persoalan
setiap murid ini relatif berbeda tapi dampaknya cukup membuat masa depan
generasi ini berada pada jurang kehancuran.
Di aspek yang lain, kita
akan menemukan lagi bahwa kalimat "orang miskin dilarang sekolah"
masih berlaku sedangkan mengeyang pendidikan adalah hak setiap warga negara dan
negara berkewajiban membiayainya namun lagi - lagi itu hanyalah sebuah khayalan
bagi rakyat jelata.
Kalau kita mengkaji lebih
jauh lagi bagaimana problem pendidikan kita saat ini adalah :
1. Adanya kapitalisasi
pendidikan (dunia pendidikan dijadikan lahan bisnis)
2. Output dan outcam
pendidikan masih dalam kebingungan untuk mendapatkan lapangan pekerjaan
sedangkan sumber daya manusia seperti tumpukan sampah, ahirnya pengangguran dan
kemiskinan semakin merajalela serta yang banyak menjadi pelaku konflik adalah
kaum terpelajar yang terus mengemis sekeping pengabdian
3. Penerapan pendidikan yang
masih tidak merata secara efektif dan efisien
4. Mental pemerintah yang
terlalu pragmatis yang hanya mengutamakan eksistensi dari pada esensi
5. Pemanfaatan IPTEK yang
tidak proposional oleh setiap unsur pendidikan.
Persoalan di atas masih
sebagian kecil dari persoalan yang terjadi di dalam dunia pendidikan dan
tentunya masing - masing kita memiliki dan menemukan persoalan yang berbeda
namun setidaknya itulah beberapa masalah pendidikan yang menghisap darah
pendidikan kita sehingga pendidikan kita mati secara pelan - pelan.
Sederhananya dalam menggunting
lingkaran persoalan pendidikan ini perlu adanya gerakan kesadaran kolektif
tanpa mengedepankan kepentingan individu dan kelompok serta tidak menjadikan
dunia pendidikan sebagai sebuah proyek untuk meraih keuntungan finansial
semata.
"Gerakan kesadaran
kolektif ini memang tak mudah dan tidak cukup waktu yang sedikit tapi kalau
bukan sekarang kapan lagi dan kalau bukan kita siapa lagi".
Seandainya ini mampu di
lakukan maka mengembalikan subtansi dan hakekat pendidikan tidak lagi suatu hal
yang semu.
Dan Pendidikan akan benar
menjadi alat perjuangan, sebagai alat perlawan, sebagai alat pencerdasan,
penghapus pembodohan dan perbudakan serta penindasan, sebagai garda terdepan
perubahan, nahkoda sekaligus ujung tombak peradaban.
Kalau sudah seperti maka
pendidikan dalam sebuah negara maju dan bahkan menjadi negara yang akan di
takuti.
Ahir dari tulisan ini bahwa
2 mei sesungguhnya bukan ajang untuk hura - hura, euforia atau pesta tapi
panggung untuk kita mengevaluasi apa, bagaimana dan sejauh mana keberadaan
pendidikan kita saat ini dan kalau kita sudah bisa menjewantahkan itu semua,
lebih lanjut kita mesti mendeskripsikan apa, bagaimana, dimana, kapan dan
bersama siapa kita menjawab persoalan tersebut.
Semoga perhatian dan kasih
sayang kita terhadap pendidikan tidak bersifat politis tapi kita benar - benar
memulai dari niatan, pikiran, perkataan dan perbuatan yang bersih dan suci
sehingga melahirkan pendidikan yang penuh dengan kemuliaan.(M)
Post a Comment