FALSAFAH KEKUASAAN: Refleksi Filosofis Pengisian Anggota BPD


Penulis: Syaiful Anhar 
Mahasiswa Pasca Sarjana Universitas Negeri Yogyakarta


Secara Konseptual Filsafat mengajarkan kita tentang pentingnya sikap Cinta terhadap kebijaksanaan dan kearifan. Dengan kekuatan cinta terhadap kebijaksanaan dan kearifan seseorang dapat membangun sikap dan perilaku yang arif dan bijak. Nilai-nilai kearifan dan kebijaksanaan itulah yang akan menjadi ruang perjumpaan etik untuk membangun Keharmonisan, kedamaian, keteraturan dan keseimbangan dalam menata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.



Begitulah konstruksi kekuasaan yang harus mengakar secara kuat di atas samudra kearifan dan kebijaksanaan. Karena dengan kearifan dan kebijaksanaan, kekuasaan akan menjadi titik temu antara kebutuhan hidup rakyat dengan seseorang yang berkuasa dan memiliki kewenangan untuk menjalankan kekuasaan tersebut, sebab kalau kekuasaan dibangun di atas samudra kerakusan, kediktatoran dan kesewenang wenangan maka ini akan menjadi sumber ketidakadilan, kekacauan, diskriminatif, kehancuran dan keruntuhan peradaban dalam kehidupan umat manusia.



Michael Foucault salah seorang Filsuf strukturalisme yg berbicara tentang kekuasaan,  bahwa kekuasaan adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara metafisis kepada negara yang memungkinkan negara mewajibkan kepada semua orang untuk mematuhinya dan dimana ada relasi maka disitu ada kekuasaan. Posisi kekuasaan dengan masyarakat memiliki relasi secara struktural yang cukup kuat, terlebih di dalam sistem demokrasi yang menghendaki adanya kedaulatan berada di tangan rakyat.



Dalam pemetaan praktik prilaku kekuasaan bahwa Penguasa yang sangat kuat dan Power Full, maka akan cenderung bersifat otoriter dan diktator. Salah satu indikatornya adalah adanya prilaku yang anti terhadap kritik, jika kekuasaan yang sangat lemah maka akan muncul prilaku rakyat yang tidak bisa dikendalikan dan akan menimbulkan kekacauan (chaos). Oleh karena itulah pada situasi ini struktur kehidupan bernegara membutuhkan adanya kekuatan penyeimbang antara penguasa dan rakyat. 



Prilaku kekuasaan harus dibatasi secara sistemik dalam rangka untuk membatasi prilaku kediktatoran dan kesewenang- wenangan, oleh karena itu sejumlah pemikir seperti Montesquieu (1689-1755) merumuskan tentang teori trias politika untuk membatasi berjalannya kekuasaan menjadi tiga bagian yaitu legislatif,  eksekutif, dan yudikatif. Dengan demikian kekuasaan akan terdistributif dan memastikan adanya check and balances.



Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, terutama dalam pemerintahan Desa, kekuasaan eksekutif berada di tangan Kepala Desa dan perangkatnya, sekaligus pemegang kekuasaan tertinggi dalam melaksanakan anggaran desa, dan karena kekuasaan tertinggi berada di tangan kepala desa maka kewajiban etik bagi rakyat yang direpresentasikan oleh BPD untuk memastikan jalannya pemerintahan dengan baik, kekuasaan itu betul-betul digunakan semata-mata untuk kepentingan rakyat dan mewujudkan kesejahteraan, kemakmuran dan kemandirian masyarakat Desa.




BPD sebagai lembaga yg memiliki fungsi keistimewaan yang diberikan oleh Negara lewat UU Desa diantaranya fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan yang harus digunakan untuk memperjuangkan segala kebutuhan dan aspirasi masyarakat Desa secara keseluruhan,  memasifkan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan yang betul-betul diarahkan untuk kepentingan kesejahteraan, kemakmuran dan kemandirian masyarakat desa, dan harus memastikan tanpa adanya sikap diskriminasi, korupsi, kolusi dan nepotisme dari pemerintahan Desa.(**)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.