Peran Aktif Masyarakat Dibutuhkan Untuk Pemilu Yang Berkualitas


Oleh : Taufiqurrahman, S.Pd


Pemilihan Umum (Pemilu) dilakukan secara langsung, umum, bebas dan rahasia serta jujur dan adil. Pelaksanaan Pemilu yang berintegritas akan menghasilkan pemimpin yang berkualitas. Hal tersebut akan terwujud bila Penyelenggara Pemilu, Peserta Pemilu dan masyarakat sebagai Pemilih memiliki integritas dan kapabilitas yang mumpuni serta dapat bersinergi dengan baik. 



Undang-Undang Dasar (UUD) Negara Republik Indonesia Tahun 1945, pasal 22E menjadi dasar penyelenggaraan Pemilu di Indonesia. Sebagai Negara yang menganut sistem demokrasi, Pemilu menjadi suatu keniscayaan. Di Indonesia pergantian kekuasaan dilaksanakan secara periodik lima tahunan melalui pemilihan umum (Pemilu) untuk memilih anggota legislatif, Presiden dan Wakil Presiden, maupun Pemilihan Kepala Daerah, yakni Gubernur dan Wakil Gubernur, serta Bupati dan Wakil Bupati/Walikota dan Wakil Walikota.



Terkait persoalan Pemilu yang dimaksud, diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2017. Salah satu yang diatur di dalam UU tersebut adalah mengenai Penyelenggara Pemilu, disebutkan bahwa penyelenggara Pemilu terdiri dari Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Ketiga lembaga tersebut harus menjunjung tinggi nilai integritas, tidak boleh dilanggar sedikit pun bagi setiap penyelenggara. 



Bagi penyelenggara Pemilu, terdapat banyak tantangan yang dihadapi, baik secara fisik maupun psikis. Oleh karena itu, untuk menjadi penyelenggara Pemilu harus mampu melewati tahapan proses seleksi yang ketat. Setidaknya, penyelenggara Pemilu harus kredibel, kapabel, serta berintegritas tinggi dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab sebagai penyelenggara Pemilu, dan atau dengan kata lain, harus memiliki kesiapan diri yang matang, baik dari segi fisik dan psikis, serta harus terbebas dari kontaminasi konflik kepentingan.



Selain terletak pada Penyelenggara Pemilu yang berintegritas tinggi dan mumpuni, juga harus didukung oleh Peserta Pemilu yang memiliki kesadaran untuk berkompetisi secara sehat, bijaksana dan dewasa dalam bertindak, yang didukung oleh kualitas diri yang kapabel serta berintegritas. Jika nilai tersebut ada pada setiap diri kompetitor sebagai Peserta Pemilu, maka insya Allah akan berkonstribusi positif dalam mewujudkan Pemilu yang berkualitas. 



Peserta Pemilu seyogyanya dapat mematuhi serta mentaati setiap regulasi secara komprehensif dengan konsisten. Selain itu, Peserta Pemilu juga harus mampu memberikan contoh yang baik terhadap masyarakat sebagai Pemilih, dengan memberikan pendidikan politik yang baik dan benar sesuai dengan ketentuan yang berlaku, sehingga masyarakat sebagai insan politik dapat memberikan mandat politiknya secara sadar dan merdeka.



Menilik tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2019, secara nasional mencapai di angka 81%, sedangkan di wilayah Kabupaten Bima angka partisipasi pemilih adalah 79,50% (data KPU Kabupaten Bima). 



Angka partisipasi pemilih dalam memberikan hak pilih tersebut tidaklah cukup untuk menilai kualitas demokrasi, karena kualitas demokrasi tidak hanya diukur dengan kuantitas Pemilih yang memberikan hak pilihnya, tetapi yang paling utama adalah kecakapan, kesadaran, kebebasan dalam memberikan hak pilih yang didasari kapasitas keilmuan dalam memaknai demokrasi yang sesungguhnya juga dibutuhkan, sehingga dapat menjatuhkan pilihan sesuai nurani masing-masing, tidak sebagai insan politik yang pasif yang “memposisikan diri” atau “diposisikan” sebagai obyek,  tetapi masyarakat sebagai Pemilih, diharapkan mampu menjadi subyek dalam pelaksanaan Pemilu.



Salah satu indikator bahwa masyarakat sebagai Pemilih dianggap cakap dan sudah dapat mengambil bagian sebagai subyek dalam pelaksanaan Pemilu, apabila masyarakat sudah mampu berpartisipasi aktif untuk turut mengawasi pelaksanaan Pemilu di lingkungannya, guna memastikan pelaksanaan Pemilu berlangsung sesuai dengan aturan dan Undang-Undang yang berlaku, karena Pemilu sejatinya adalah milik masyarakat. 



Ketika Pemilu melenceng dari aturan, maka yang dirugikan adalah masyarakat yang memiliki kedaulatan, jelas dalam konstitusi menyebutkan “kedaulatan rakyat” benar-benar terlaksana dengan baik untuk mewujudkan Pemilu yang bersih, jujur dan adil. Hal tersebut juga telah diamanatkan dalam UU No. 7 Tahun 2017 pasal 448  ayat 1, 2 dan 3.



Pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat ini dikenal dengan pengawasan partisipatif. Pengawasan partisipatif ini dapat dimulai dari tahapan pendataan Pemilih sampai dengan rekapitulasi perolehan suara. Pengawasan partisipatif tersebut penting, mengingat terbatasnya personil Pengawas Pemilu dalam mengawasi tahapan Pemilu. 



Berdasarkan data Bawaslu Kabupaten Bima selama pelaksanaan Pemilu tahun 2019, terdapat 20 kasus yang ditangani, 12 kasus diantaranya adalah merupakan temuan Bawaslu dan jajarannya, sementara 8 lainnya adalah laporan dari masyarakat. Dari angka tersebut   menujukkan bahwa masih minimnya partisipasi masyarakat dalam melaporkan dugaan pelanggaran Pemilu, mengingat kompleksitas  persoalan Pemilu pada Pemilu tahun 2019 yang berpeluang muncul terdapat banyak dugaan pelanggaran Pemilu.



Upaya peningkatan pastisipasi masyarakat dalam pengawasan Pemilu sudah banyak dilakukan oleh Bawaslu, antara lain; pengawasan berbasis IT melalui Gowaslu, Pojok pengawasan, Saka Adhyasta Pemilu, pengabdian masyakat, Media sosial dan gerakan pengawasan partisipatif Pemilu.



Baru-baru ini Bawaslu Provinsi Nusa tenggara Barat (NTB) membuka Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif (SKPP). Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif tersebut dibututuhkan 10 orang masing-masing Kabupaten/Kota yang ada di NTB, dan batasan usianya 19-30 tahun. Hal tersebut menjadi salah satu langkah Bawaslu untuk menumbuhkan semangat partisipasi masyarakat dalam ikut terlibat mengawasi tahapan proses Pemilu. 



Peminat Sekolah Kader Pengawasan Partisipatif tersebut cukup banyak untuk Kabupaten Bima, terbukti beberapa orang Pemuda masih menanyakan melalui media Facebook Bawaslu Kabupaten Bima, meski pendaftaran itu sudah ditutup pada pukul 16.00 wita, pada tanggal 18 Oktober 2019, sementara yang berhasil mendaftarkan diri adalah berjumlah 37 orang. Semoga hal itu menjadi awal yang baik untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam mengawal Pemilu.



Gerakan Pengawasan Partisipatif Pemilu tersebut, merupakan gerakan sosial masyarakat yang di kembangkan oleh Bawaslu secara sistematis dengan merekrut relawan partisipatif Pemilu, relawan pengawas ini merupakan perpanjangan tangan Bawaslu yang turut mengawasi tahapan Pemilu. Para relawan ini dibekali dengan pengetahuan tentang regulasi ke-Pemiluan, sehingga diharapkan bisa melakukan pengawasan partisipatif di lingkungan sosial masyarakat.



Hingga saat ini, secara empiris, belum ada data yang menunjukkan pengawas partisipatif terdaftar  secara resmi di Bawaslu Kabupaten Bima, baik itu dari kelompok masyarakat, organisasi kepemudaan dan organisasi kemasyarakatan yang melakukan kerjasama dengan Bawaslu Kabupaten Bima, untuk terlibat aktif sebagai pengawas partisipatif. Kondisi ini tidak berbanding lurus dengan jumlah DPT yang berjumlah 365.795 pemilih pada Pemilu tahun 2019 lalu.



Itu artinya, bahwa untuk pelaksanaan program pengawasan partisipatif masih kurang ideal, karena kenyataan di lapangan pada Pemilu sebelumnya, masyarakat masih tampak apatis terhadap persoalan politik, lebih khususnya terkait Pemilu, seolah-olah proses pelaksanaan Pemilu itu adalah hanya tanggung jawabnya Penyelenggara Pemilu. 



Hal lainnya adalah, terbatasnya pemahaman masyarakat sebagai Pemilih, sehingga tidak berani terlibat aktif dalam mengawasi tahapan Pemilu, dan beranggapan rumitnya prosedur ketika memberikan laporan dugaan pelanggaran Pemilu. Karena itu, dibutuhkan pendidikan elektoral yang berkesinambungan untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat sebagai subyek dalam Pemilu. Untuk mewujudkan hal tersebut, tentu membutuhkan waktu serta gerakan yang terstruktur dan sistematis, serta tidak hanya dilakukan pada saat Pemilu saja. 



Tekhniknya adalah dengan memanfaatkan komunitas yang sudah ada di tengah masyarakat, karena masyarakat kita memiliki banyak komunitas yang dapat menjangkau masyarakat dalam skala luas, seperti PKK, KNPI dan Karang Taruna, serta organisasi sosial lainnya. Secara teritorial, perlu ada kesepakatan pemangku wilayah hingga level terbawah, untuk menyosialisasikan bahwa politik elektoral merupakan kebutuhan masyarakat. Program ini dapat dimasukkan dalam program skala prioritas pemerintah dan dilakukan secara berkesinambungan.



Jika kesadaran masyarakat terkait hak dan kewajibannya sudah terbentuk dan didukung oleh pengetahuan yang cukup, maka dengan sendirinya masyarakat dapat berperan aktif menjalankan fungsi kontrol terhadap jalannya Pemilu, melalui pengawasan partisipatif, sehingga tingkat pelanggaran Pemilu dapat terminimalisir.



Untuk itu,  partisipasi aktif masyarakat dalam mengawasi proses Pilkada Kabupaten Bima mendatang sangat dibutuhkan, dalam rangka meminimalisir pelanggaran dan konflik di masyarakat, sehingga Pilkada 2020 mendatang menjadi Pilkada yang bermartabat dalam memilih pemimpin yang berkualitas.



Penulis adalah Anggota Bawaslu Kabupaten Bima

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.