Gubernur NTB "Tidak Paham Etika Lingkungan"


Oleh : MAK'RUF


Pemahaman akan etika lingkungan harus diucapkan pada ruang publik maupun privat oleh pemerintah propinsi NTB. Artinya berbicara mengenai etika lingkungan, dalam hal ini bapak Gubernur NTB, harus membuka ruang kelas dengan melemparkan sebuah pernyataan "Pentingnya hidup selaras dengan alam".



Gubernur NTB harus sampai pada pikiran semacam itu mengingat masyarakat NTB hari ini melihat alam sebagai pemenuhan akan kebutuhan ekonomi semata. Apalagi hal itu bukan menjadi keharusan bagi individu yang beragama. Bapak Gubernur NTB, sebagai pengendali kebijakan di ruang publik adalah kulminasi dari individu yang memiliki gelar Doktor dalam strata akademik sekaligus sebagai individu yang beragama di dalam kehidupan masyarakat NTB menjadi cermin dalam mengambil kebijakan akan pentingnya menjaga alam.



Hemat Penulis "etika artinya keharusan, normativitas yang basisnya adalah argumen. Sesuatu disebut mempunyai masalah etis bila menuntut justifikasi rasional terhadap suatu problem”. Sebuah persoalan dikatakan sebagai persoalan etis bukan karena berkait dengan keyakinan  atau kebiasaan, tetapi karena adanya susunan pikiran untuk mengatifkan argumentasi. Etika selalu berupa konfrontasi argumen, entah dalam hal merubah cara pandang individu yang beragama untuk merusak lingkungan hidup demi kepentingan pribadi tanpa memikirkan kepentingan umum.



Etika lingkungan dianggap sebagai a new kind of ethic. Etika pada awalnya berfokus hanya pada persoalan kemanusiaan, tapi seiring perkembangan etika, terjadi pergeseran perspektif. Cara pandang antroposentrisme bergerak menjadi biosentrisme dan kemudian menjadi ekosentrisme. Dulu subjek etika terbatas pada manusia, tapi sekarang harus mengenali hak hewan, hak tumbuhan, hak sungai, hak gunung dan sebagainya. Dasar etika lingkungan adalah memberikan dasar argumen mengapa hal-hal ini memiliki hak. Etika lingkungan menyediakan fondasi rasional tentang status moral suatu hal.



Dalam perspektif ekofeminisme menuntut keterlibatan yang berasal dari pengalaman atau situated knowledge. Artinya, individu ekofeminis haruslah membangun argumen berdasarkan pengalaman yang down to earth. Menjadi individu ekofeminis, artinya pernah memiliki pengalaman ketidakadilan (dalam kaitannya dengan alam), pengalaman tersebut membekas dan membentuk sistem pengetahuan bagi diri individu. 



Mengingatkan bahwa individu harus selalu awas untuk memeriksa nilai yang terselubung di balik sebuah tindakan yang mengatasnamakan kepentingan ekonomi dengan merusak lingkunga. Termasuk privat Gubernur NTB itu sendiri, sikap publiknya penting untuk memeriksa, apa landasan perjuangannya. Sebab kekuatan dan konsistensi sebuah perjuangan akan bergantung pada titik pijaknya. Termasuk kebijakan bapak gubernur NTB, atas pengambil Alihan atas status hutan hari ini.



Etika tidaklah beku, ia berevolusi. Menurut Rocky Gerung; salah satu penyebab eksploitasi terhadap alam adalah aspek teologis yang menyerukan pesan tentang penguasaan atas alam demi kemakmuran manusia. Artinya secara hierarki posisi manusia berada di atas alam, bagi Rocky Gerung gagasan semacam itu saat ini tidak relevan—tidak beradab.



Bapak Gubernu NTB sebagai pengendali kebijakan dan pemahaman akademis yang baik harus  tahu akan perubahan paradigma dari yang antroposentris ke ekologisentris memiliki dampak radikal. Ia berdampak pada subjek hukum. Terdampak dari paradigma antroposentris, subjek hukum selama ini yang terjadi di dalam kultur masyarakat NTB.



Eksklusif cara pandang pada masyarakat NTB, berubah seiring dengan perubahan paradigma dari yang antroposentris ke ekosentris, subjek hukum pun mengalami perluasan. Dulu subjek hukum terbatas pada manusia, saat ini hukum berupaya mengakomodasi yang bukan manusia.  Ilustrasi bahwa pohon memiliki hak untuk membela diri, untuk mempertahankan eksistensinya melalui pengampunya. Hal ini senada dengan kesejarahan perempuan dalam perspektif hukum. Dulu perempuan bukan subjek hukum karena tidak memiliki hak bicara, namun feminisme mengubah status tersebut perempuan yang semula unspeakable menjadi unstoppable.



Perubahan tersebut menghasilkan sejumlah konsekuensi dan kontroversi, namun yang perlu digaris bawahi adalah bahwa telah hadir new kind of ethic. Feminisme adalah penyokong bagi seluruh perjuangan kelompok marginal. Feminisme mengambil sebuah inisiatif untuk menghasilkan sebuah egalitarianisme model baru. Di dalam etika feminis yang disebut ethic of care lahir konsep baru mengenai keadilan. Dulu keadilan hanya berfokus pada ethic of rights, saat ini feminisme memperluas gagasan tersebut. Keadilan berfokus pada ethic of care, karena mengalami persoalan disparitas, hierarki. Gagasan feminisme juga berdampak pada perubahan paradigma lingkungan.



Ekofeminisme yang disponsori oleh feminisme menghasilkan gagasan mengenai hak-hak alam. Ekofeminisme harus berdiri pada standpoint. Menjadi individu ekofeminis artinya mengambil risiko untuk bertentangan dengan politik makro, untuk itu dibutuhkan konsistensi dalam perjuangan ekofeminisme.



Standpoint ekofeminisme adalah situated knowledge. Bagi ekofeminisme, argumen memperjuangkan lingkungan adalah karena pengalaman penderitaan yang dihasilkan oleh ketiadaan perlindungan terhadap lingkungan. Ini artinya pengalaman hidup menghasilkan sebuah pengetahuan baru.



Ada ekofeminisme standpoint memiliki kelemahan secara akademis yakni ia mudah jatuh ke dalam esensialisme yang meyakini bahwa yang cocok dengan alam hanyalah perempuan, anggapan bahwa biologi perempuan memang secara kodrati telah tune in dengan alam, konsekuensinya adalah ethic of care eksklusif milik perempuan dan laki-laki tidak menjadi bagian di dalamnya.



Sebuah anggapan bahwa hanya perempuan yang mampu membaca alam, hanya perempuan yang mampu memproduksi ethic of care. Jebakan ini harus dihindari agar kita tidak menjadi individu ekofeminis yang menikmati arogansi patriarki.(**)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.