Covid-19 dan Ujian Kapabilitas Kelembagaan Pemerintah


Oleh : Haeril, M.IP (Dosen Ilmu Administrasi Negara STISIP Mbojo Bima)


Suka atau tidak suka, Covid-19 telah menjadi bencana kemanusiaan yang mengancam keselamatan kita semua. Persebarannnya dalam beberapa bulan terakhir telah menimbulkan kekhawatiran serius dari berbagai pihak. Massifnya persebaran, implikasi yang bisa mematikan, hingga belum ditemukannya pengobatan yang ampuh, secara otomatis memunculkan keresahan luar biasa dikalangan masyarakat Indonesia saat ini. Persebaran covid-19 telah menggeser cara pandang kita tentang ancaman dan keamanan, yakni bahwa ancaman terhadap keamanan bukan lagi berupa perang, tetapi dapat berbentuk wabah penyakit yang dapat mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan mengancam keamanan manusia.


Covid-19 telah menimbulkan dampak negatif terhadap kerugian ekonomi, sosial, maupun psikologis masyarakat Indonesia, disinilah kapabilitas kelembagaan Pemerintah diuji. Peran kelembagaan Pemerintah harus hadir memberi rasa aman dan mengurai dampak negatif yang ditimbulkan. Tentu saja perlu political will Pemerintah melalui komitmen secara kelembagaan dengan penerapan terobosan kebijakan yang efektif, penanggulangan dan penanganan yang memerlukan kolaborasi secara kelembagaan.


Selama ini aktifitas penanggulangan bencana di Indonesia memang hanya bertumpu pada masalah saat bencana. Namun kegiatan antisipasi dan upaya memperkirakan konsekuensi potensial bahaya tidak pernah maksimal dilakukan, kelembagaan yang tidak fleksibel dan kurang sigap, struktur sistem peringatan dini dan sosialisasi yang tidak efektif bagi seluruh lapisan masyarakat menjadi kendala sejak awal dalam upaya penyelenggaraan penanggulangan wabah Covid-19. Sehingga ketika Pemerintah secara kelembagaan tidak sepenuhnya berkomitmen untuk merespon ancaman bencana, ini dapat menyebabkan masyarakat juga benar-benar tidak siap menghadapi bencana.


Hingga LP3ES merilis 37 daftar pernyataan blunder Pemerintah soal Corona, dimana pernyataan yang dinilai blunder ini dikeluarkan sejak fase awal krisis Covid-19 pada akhir Januari lalu. Antara lain mulai dari pernyataan Pemerintah diawal wabah yang terkesan menolak peringatan-peringatan yang disampaikan lembaga dunia dan penelitian-penelitian berbagai Universitas di dunia tentang penyebaran covid-19 di Indonesia, hingga persoalan kebijakan darurat sipil yang dikeluarkan oleh Presiden Jokowi. Kapabilitas Pemerintah juga diuji saat perbincangan dan desakan dari berbagai kalangan untuk segera melakukan lockdown sejak awal. Banyak yang menuntut agar segera melakukan lockdown didasarkan atas apa yang sedang dan telah dilakukan oleh negara lain. Padahal, hal tersebut tidak bisa dijadikan dasar bahwa Indonesia harus melakukan skenario yang sama.


Pemerintah menganggap bahwa keputusan untuk melakukan lockdown bukanlah satu keputusan yang mudah. Apalagi, dinamika yang terjadi di setiap negara juga berbeda sehingga membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda pula. Sebab akan ada minimal ada 6 sektor industri yang berdampak akibat virus Covid-19  di Indonesia yaitu pariwisata, penerbangan, otomotif, oil and gas, consumer goods, dan elektronik.


Sehingga Pemerintah memilih tidak di-lockdown. Kendati rumit, pemerintah lebih memilih menerapkan kebijakan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) tingkat wilayah. Penerapan PSBB tingkat wilayah atau daerah bergantung pada kondisi daerah, sehingga inisiatif penerapan PSBB ada di tangan kepada daerah (gubernur, bupati, wali kota), tentunya setelah berkoordinasi dengan menteri kesehatan.


Namun kebijakan PSBB juga mendapat tantangan semakin berat mengingat sebentar lagi memasuki bulan puasa dan Lebaran, yang umumnya pada momentum tersebut dimanfaatkan oleh para perantau untuk pulang kampung. Bahkan mudik telah menjadi perjalanan ritual kolosal tahunan di negeri ini. Sehingga Pemerintah selain menghitung dampak dari kesehatan dan keselamatan rakyat juga harus melihat dampak sosial ekonomi yang mengikutinya. Arahnya jelas, yaitu keselamatan, penyiapan bantuan sosial, dan memperhitungkan dampak ekonomi.


Ujian selanjutnya adalah upaya meredam isu hoax dikala wabah, komunikasi sangat penting ditengah situasi Pandemik Covid-19 di Indonesia, namun hilir mudik informasi membuat masyarakat rentan mengonsumsi informasi yang tidak valid. Disinformasi mengenai virus yang berdampak pada perilaku masyarakat seperti aksi panic buying yang disebabkan oleh informasi hoax. Dalam kondisi krisis ini, informasi hoax semakin masssif sehingga publik berada dalam situasi yang dinilai tidak jelas dalam mengkonsumsi informasi terkait covid-19. Kemasan hoax juga bermacam-macam bisa dari sebuah kelakar namun berujung serius seperti soal telur sebagai penangkal Corona, hingga produk ponsel asal china yang dapat menularkan virus.


Demikian juga juga dengan kehadiran para influencer atau buzzer yang terbiasa memproduksi narasi-narasi kebohongan untuk kepentingan politiknya pun kiranya tidak dapat dibiarkan, pemerintah mesti bersikap tegas untuk mengakhiri politisasi penanganan Covid-19 dan harus berpihak pada kepentingan dan keselamatan rakyat. Sehingga Pemerintah dituntut untuk memperketat informasi publik mencegah terjadinya ketakutan dan kepanikan yang berlebihan dimasyarakat. Disinilah kemampuan Kepemimpinan, upaya kolaborasi (multi level organization), adaptasi dan implementasi kebijakan yang efektif (policy for effective implementation), kapabilitas keuangan (financial capability), penggunaan teknologi dan riset, mutlak diwujudkan dan dilakukan sebagai bentuk kapabilitas kelembagaan Pemerintah dalam penanggulangan Covid-19.


Pemerintah harus meraih legitimasi yang diperlukan agar dipercaya publik. Ini bertujuan agar pemerintah dapat menjalankan fungsinya dengan penuh. Upaya Pemerintah mengambil keputusan dan menjalankan kebijakan harus leluasa untuk mengakhiri krisis. Untuk itu kapabilitas Kelembagaan merupakan bentuk dari kemampuan yang harus dimiliki oleh Pemerintah dalam menghadapi tantangan penyelenggaraan penaggulangan Covi-19.


Kapabilitas ini menjadi sebuah tolok ukur pemahaman yang dimiliki Pemerintah dalam upaya penanggulangan Covid-19. Kedepan setelah wabah ini bisa teratasi, tentu ini harus bisa dijadikan sebagai pelajaran. Agar penanganan bencana yang seringkali dilakukan setelah terjadi bencana dan hanya terfokus pada upaya untuk merespon keadaan darurat bencana sehingga Pemerintah dan stakeholders bencana sibuk menangani korban bencana dan memenuhi kebutuhan dasar masyarakat yang terpaksa mengunci diri. Dimana upaya tersebut dianggap tidak efektif dalam penyelenggaraan penanggulangan Covid-19.(**)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.