WASPADAI PENUMPANG GELAP ATAS NAMA BENCANA


Oleh : Nukman M.Si (Ketua Dewan Pengurus FGII NTB)


MERESPONS mewabahnya Covid-19, Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020. Perppu itu terkait dengan kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan untuk penanganan pandemi Covid-19 dan atau dalam rangka menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional.


Anggaran yang disiapkan sebagai dana paket stimulus mencapai Rp 405,1 trilliun. Alokasinya untuk pemulihan ekonomi nasional (Rp 150 triliun), insentif perpajakan (Rp 70 triliun), jaring pengaman sosial (Rp 110 triliun), serta bantuan kesehatan (Rp 75 triliun).


Sejak awal, saya menangkap kesan abu- abu dalam Perppu tersebut. Dari postur anggaran yang digelontor kan, Perppu lebih bertujuan mengatasi darurat ekonomi.


Nilainya lebih dari 50 persen, yaitu 220 triliun. Itu gabungan dana pemulihan ekonomi dan insentif perpajakan. Padahal kita sedang mengalami darurat kesehatan nasional akibat pandemi Covid-19. Dana kesehatan hanya Rp 75 triliun. Pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin dana sebanyak itu tepat sasaran? Tidak menjadi bahan Bancakan oknum dilingkaran kekuasaan. Hukum korupsi selalu begitu. Korupsi selalu menyertai kemana uang mengalir. Penumpang gelap atas nama bencana harus diwaspadai. Perppu 1/2020 punya implikasi yang sangat serius. Betapa tidak Perppu bisa memangkas hak sejumlah lembaga negara. Termasuk menghilangkan hak pengawasan dan hak budgeting DPR. Juga, menghilangkan kewenangan BPK dalam mengaudit keuangan negara hingga mengabaikan kekuasaan kehakiman seperti MA dan MK.


Anggaran yang disiapkan sebagai dana paket stimulus mencapai Rp 405,1 triliun. Alokasinya untuk pemulihan ekonomi nasional (Rp 150 triliun), insentif perpajakan (70 triliun), jaring pengaman sosial (110 triliun) serta bantuan bidang kesehatan (75 triliun).


Sejak awal saya menangkap kesan abu-abu dalam Perppu tersebut. Dari postur anggaran yang digelontor kan, Perppu lebih bertujuan mengatasi darurat ekonomi. Nilainya lebih dari 50 persen, yaitu Rp 220 triliun. Itu gabungan dana pemulihan ekonomi dan insentif perpajakan. Padahal kita sedang mengalami darurat kesehatan nasional akibat pandemi Covid-19. Dana kesehatan hanya Rp 75 triliun.


Pertanyaannya, siapa yang bisa menjamin itu tepat sasaran? Tidak menjadi bahan Bancakan Oknum dilingkaran kekuasaan. Hukum korupsi selalu begitu. Korupsi selalu menyertai kemana mata uang mengalir. Penumpang gelap atas nama bencana harus diwaspadai.


Perppu 1/2020 punya implikasi yang sangat serius. Betapa tidak Perppu bisa memangkas hak sejumlah lembaga negara. Termasuk menghilangkan hak pengawasan dan hak budgeting DPR. Juga, menghilangkan kewenangan BPK dalam mengaudit keuangan negara hingga mengabaikan kekuasaan kehakiman seperti MA dan MK. Disisi lain, Perppu memberikan kekuasaan yang sangat luar biasa besar kepada menteri keuangan. Mulai hak menentukan defisit, menentukan besaran belanja wajib dan pergeseran anggaran, menerbitkan surat utang, memberikan pinjaman hingga menentukan hibah. Dengan alasan kegentingan yang memaksa, semua kewenangan itu diambil alih oleh pemerintah. Dalam pasal 2 ayat 2 Perppu dinyatakan ketentuan lebih lanjut tentang kebijakan keuangan negara diatur dengan peraturan menteri keuangan, parahnya lagi, Perppu 1/2020 memberikan hak imunitas bagi pengambil kebijakan dalam mengelola keuangan negara. Mereka tidak bisa di proses hukum meskipun nantinya akan timbul persoalan kerugian negara. Coba simak pasal 27 Perppu, Ayat (1) berbunyi:" biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan atau lembaga anggota komite stabilitas sistem keuangan (KSSK) dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan dan program pemulihan ekonomi nasional merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara".


Lalu Ayat 2: "Anggota KSSK, sekertaris KSSK, anggota sekretariat KSSK dan pejabat atau pegawai Kemenkeu, BI, OJK serta LPS dan pejabat lainnya yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana. Jika dalam pelaksanaan tugas di dasarkan pada itikad baik dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan".


Pasal (3):" Segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan obyek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara". Perppu ini jelas sangat berbahaya atas nama bencana negara akan beranjak menjadi otoriter. Saya memprediksi, Perppu ini sangat disetujui oleh dewan perwakilan rakyat sebab lebih dari 65 persen kursi di parlemen dikuasai oleh koalisi pemerintah.


Dalam kondisi seperti itu, rasanya, kita sulit berharap pada pengawasan DPR. Begitu pula KPK. Sebab pasca revisi UU KPK, lembaga itu tampak nya lebih mengutamakan pencegahan daripada penindakan. Karena itu diperlukan pengawasan publik secara aktif agar dana stimulus Rp 405,1 trilliun tersebut tidak disalahgunakan. Penumpang gelap atas nama Covid-19 harus disingkirkan.


Nukman, M.Si.Alah Alumni Kebijakan Publik, Universitas Wijaya Putra Surabaya Angkatan Tahun 2010

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.