Jelang Pilkada Bima, Politik Pencitraan Kembali Membodohi dan Menyesatkan Rakyat


Oleh : Agus Fahrin, Generasi Indonesia


Arus dinamika politik jelang pilkada Bima hari hari ini diramaikan oleh hiruk pikuk permainan bahasa dan citra sebagai bagian dari proses pemasaran figur calon Bupati dan Wakil Bupati Bima 2020. Melalui tanda dan simbol pencitraan tentu ingin menegaskan, memperkuat dan meyakinkan publik akan layak dan pantasnya seorang figur menjadi memimpin daerah. Citra politik beroperasi dalam situasi pertarungan bahasa dan simbol, yang mengharuskan mereka para kompetitor terlibat dalam permainan simbol. Pencitraan mempertegas apa yang tdk dapat disampaikan melalui realitas, meyakinkan publik tentang apa yang tdk dapat diyakinkan melalui bahasa kebenaran sebuah fakta. Karena itu, dgn pencitraan rawan terjadi politik pembodohan dan pembohongan publik.



Meskipun demikian, perkembangan fungsi politik pencitraan telah menjadi alat penipuan publik yg paling ampuh dlm pasar politik, meski tdk bisa memperkuat makna dan pesan nilai politik utk alasan perubahan dan kemajuan daerah, atau justru mendistorsinya dengan menampakkan diri figur (pemimpin/calon pemimpin) esensial dgn citra ketimbang gagasan tentang visi yg menjelaskan fungsi, makna, fakta, dan hakikat kepemimpinan daerah tersebut.



Politik memang tdk dapat dilepaskan dari proses pencitraan mengingat ada fungsi komunikasi untuk meyakinkan publik dgn itu melalui media sosial misalnya. Dlm proses publikasi calon kepala daerah, politik pencitraan dikerahkan untuk menegaskan pesan, makna, dan nilai-nilai kepemimpinan seolah olah ideal meskipun bertopeng kepalsuan dan penuh modus pembohongan publik.



Gerakan politik pencitraan semacam itu merupakan tindakan khusus bersifat menyampaikan pesan menjaga image dalam mendukung perjuangan politik utk menarik hati publik, disini proses pencitraan itu cara, ia bukan tujuan. Melalui citra, pesan dan makna diperkuat, tetapi ia sendiri bukan makna, ia berfungsi hanya menampakkan sesuatu sebagai modus kebohongan dan kamuflase, citra memungkinkan ekspresi bahasa verbal, tetapi ia sendiri bukan ekspresi bahasa verbal yg dpt dipercaya kebenarannya.



Tercabutnya praktek politik kekuasaan dari makna esensial demokrasi atas dominasi simbol pencitraan ini menciptakan kondisi di mana dinamika proses pilkada lebih dirayakan dgn hanya menampilkan simbol simbol yg hampa makna dan tujuan. Energi, pikiran, dan kesadaran para politisi, calon dan timses terkuras dalam memikirkan penampakan luar (citra, gaya, dan gestur) sebagai cara dalam menarik perhatian dan meyakinkan publik sehingga tdk ada lagi ruang bagi pemikiran dan gagasan visi perjuangan politik atau esensi demokrasi dan fungsi kepemimpinan yg sesungguhnya dijelaskan kepada publik, terutama pada pemilih.



Makna politik yang telah direduksi menjadi politik pencitraan menyebabkan fungsi penampakan citra menjadi sentral perhatian publik, ia akan mengambil alih panggung, pada saat yg sama ia mengaburkan makna, fungsi dan hakikat kepemimpinan politik, tdk lagi bicara tentang tujuan luhur demokrasi dlm proses seleksi calon kepala daerah yg mememuhi kriteria layak dan pantas, dimana harapan (visi) bisa sesuai kenyataan. Mengamati perkembangan yg terjadi jelang pilkada Bima 2020 adalah terjadi substitusi tanda yang nyata dengan citra, realitas direduksi dgn proses pembenaran melalui simbol citra utk membentuk kepercayaan publik.



Disini politik kehilangan fungsi representasi, yaitu fungsi reproduksi ide dan gagasan tentang realitas politik dan juga harapan politik terhadap kepemimpinan daerah atas visinya bisa direalisasikan. Ada relasi simetris antara tanda dan realitas, antara citra dan realitas, antara gerak gerik, grasak grusuk politik dgn keyakinan politik. Ketika politik kehilangan fungsi representasi ini, maka fungsi citra berubah menjadi fungsi mitos, artinya tdk lagi untuk menjelaskan gagasan pembangunan daerah tetapi justru mendistorsi dan mengaburkannya melalui permainan simbol simbol citra yg dilekatkan pada calon, mempersonifikasi kehebatan calon melalui pengkultusan simbolik meskipun itu menipu dan membodohi publik.



Karena itu jelang pilkada Bima, dinamika politik daerah telah didominasi penanda hampa yang terputus dari realitas, dimana selalu ada dinding pemantul pembohongan publik antara proses pembenaran tanda dgn dunia realitas sesungguhnya. Misalnya, menyebut BIMA BERPRESTASI, SALAM LITERASI, IDP PEDULI PADA RAKYAT, IDP MERANGKUL PEMUDA DAN AHLI, IDP HEBAT, IDP PEMIMPIN MERAKYAT, atau BIMA YANG RELIGIUS, BIMA YANG AMAN, BIMA YANG MAKMUR, BIMA YANG AMANAH, BIMA YANG HANDAL atau BIMA RAMAH adalah cara meletakkan citra dlm bentuk pengkultusan simbolik terhadap IDP-FAHLAN yg hendak kembali meminta dukungan 2 periode, meski simbol simbol citra itu sebuah kemasan yg tdk bisa mencerminkan isi atau jauh dari realitas, ini sama persis seperti "ROA & PANCI" itu nyaring bunyinya meskipun kosong isinya.



Citra selalu mantul dalam jagat tanda kebohongan dan penipuan publik karena ia tidak didukung realitas. Citra politik hanya menampilkan derealisasi tanda dimana ide dan konsep dibalik tanda itu terputus dari dunia realitas. Kenyataan yg demikian itu sebut saja sebuah karangan fiktif yg mengelabui, membodohi dan membohongi rakyat karena derealisasi simbol simbol citra tsb tdk didukung bukti yg meyakinkan di mata publik, kecuali lipstik bermodus virus menggoda dan meracuni rasionalitas publik, itulah citra yg menyesatkan.



Misalnya, agenda kunker IDP DAHLAN yg digelar diakhir periode bukan tujuannya ingin benar benar menyerap aspirasi rakyat, namun   bermodus menggantung harapan rakyat dgn janji palsu kemudian dibarter dgn meminta dukungan 2 periode. Jika dasarnya IDP murni menyerap aspirasi rakyat mestinya kungker tdk digelar akhir tahun jelang pilkada, tapi krn itu dilakukannya maka kunker adalah agenda pembodohan publik dan alat politik tipu tipu. Selain itu visi Bima Ramah yang menjanjikan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Bima adalah gagal direalisasikan dgn menyisahkan 17.650 jiwa rakyat Bima yg masih tergolong miskin dan 12.073 jiwa pangangguran, serta rapor merah kepemimpinan IDP-DAHLAN adalah mencetak IPM Kabupaten Bima terendah se NTB. Sisi lain juga visi Bima Religius dan Aman dinilai gagal dgn terus merajalelanya kasus narkoba, curanmor, konflik sosial, dan pembunuhan yg terjadi di Kabupaten Bima dibawah kepemimpinan DINDA DAHLAN. 



Tidak hanya itu Visi Bima Handal juga gagal dgn fakta amburadurnya sistem tata kelola birokrasi, pelayanan publik dan diissukan terjadi transaksi fee dibalik proses rotasi dan mutasi. Managemen kepemimpinan dan model birokrasi yg handal juga tidak terukur bentuknya yg nyata. Belum lagi sikap kepemimpinan IDP DAHLAN tdk pernah mengakomudir berbagai stakeholder sbg mitra pembangunan dalam proses membantu percepatan pencapaian visi pembangunan daerah. 



Fakta yang harus diakui bahwa IDP DAHLAN sesungguhnya tdk memiliki SDM memadai dalam mengelola dan memanfaatkan sejumlah sumber daya dari berbagai sektor sehingga fakta PAD Kabupaten Bima cukup rendah tiap tahun bahkan semakin menurun. "Pendapatan Asli Daerah tahun 2017 sebesar 199.888 M, tahun 2018 sebesar Rp. 136.270 M atau turun 63.563 M. Pada Tahun 2019 PAD hanya mencapai 135.874 M atau turun 39.6 M dari total APBD sebesar 1.812. T". Ketergantungan pada dana perimbangan dari pusat, DAK dan DAU cukup besar sampai 90% lebih (1.38 T) dari APBD hampir 1,9 T. Dengan demikian "PAD yang rendah menunjukan kualitas dan kapabilitas Kepala Daerah dalam mengelola ekonomi daerah juga rendah, rasio kemandirian daerah juga rendah" (Dr. Ikhwan Sirajudin).



Jadi selama IDP-DAHLAN memimpin Bima lebih banyak citra daripada karya nyata, sisi lain kebodohan para pendukung masih banyak bergentayangan menyebut 2 periode hanya bermodalkan simbol pencitraan. Permainan tanda dan citra dalam diskursus politik pilkada Bima (lewat media) menimbulkan persoalan serius pada kebenaran politik karena permainan tanda tak pernah dapat diuji secara definitif di dalam pengujian dunia realitas sebab ia selalu menolak proses penilaian, terutama bagi mereka para pendukung yg sudah terlanjur terperangkap dlm sikap fanatik buta. Citra selalu berkilah dan menghindar untuk diuji kebenarannya karena fungsi citra adalah menutupi kebenaran itu sendiri. Akibatnya, momen pilkada atau ruang kekuasaan yg merepresentasikan kebenaran tdk ada lagi dalam dunia politik di Bima jelang pilkada, ia telah diambil alih oleh ”citra" sbg alat politik yg membunuh rasionalitas, terutama bagi para timses dan pendukung fanatik.



Pada kondisi ini, politik yang kehilangan fondasi rasionalitas dlm proses menumbuhkan kepercayaan publik, terperangkap dalam permainan bebas citra dan simbol simbol pembodohan terhadap pemilih. Dalam sebuah proses imajinasi politik simbolik ini, yang dikejar di dalamnya bukan sebuah kebenaran dari sebuah harapan dan tujuan perjuangan pilkada utk melahirkan pemimpin yg layak dari berbagai sisi keunggulan visi dan program pembangunqn daerah untuk lebih baik dan maju, melainkan hasrat kekuasaan murni dengan memanipulasi simbol pencitraan untuk menyembunyikan kebenaran agar tdk tampak di mata publik sehingga sikap kepemimpinan kepala daerah atau calon kepala daerah selalu tampil bebas membodohi dan menipu rakyat dlm proses mencari perhatian dan dukungan politik jelang pilkada 2020.



Pilihan merdeka adalah keluar dari jurang pembodohan dan kubangan sikap fanatik buta, rakyat tidak boleh mewarisi dosa kepemimpinan yang lebih banyak mengumbar janji bohong dgn citra yang menipu dan nenyesatkan akal sehat.(NM)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.