AKU, KAMU, DAN MEREKA, MEMAHAMI IDP DALAM PERPSPEKTIF EMANSIPASI DAN KEPEMIMPINAN POLITIK DI BIMA

Duduk melingkar bersama Bung Ashar S Yaman, Muh Dino, Aci Guevara, Al Mukmin Betika, didampingi Pak Syamsudin dan Pak Bahar Ketua dan Sektretaris Gerindra Kab. Bima sebelum H. Dahlan, bertempat di salah satu hotel Mataram. Dalam kesempatan ini kita bincang soal emansipasi perempuan dalam menyongsong Pilkada Bima. Esensi pembahasan adalah mengenai sosok IDP yang dipandang sebagai yang berhasil merebut hak hidupnya berpolitik menurut konsepsi emansipasi perempuan yang berperan bukan saja pada urusan domestik tapi juga pada peran publik yaitu menjadi Bupati Bima. 


Fokus diskusi apakah masyarakat Bima memahami IDP selaku pemimpin perempuan telah menjiwai esensi hukum emansipasi dalam proses pembebasan diri dari budaya patriarki dan hegemoni sistem feodalisme atau justru telah terjadi hegemoni simbol budaya dalam bentuk kecenderungan dominan masyarakat melalui pengkultusan sejarah kuasa feodalisme monarki itu sendiri yang masih besar pengaruhnya di Bima, atau semacam terjadi sakralisasi simbol kultur yang bertalian dengan sistem nilai monarki (era demokrasi) yang masih kental melekat pada cara pandang dan kecendrungan sikap hidup yang berdiaspora membentuk kecendrungan politik masyarakat Bima menurut tingkat kesadarannya. Demikian hal itu menandai perbedaan pandangan dalam diskusi bersama Bung Ashar sebagai narasumber utama bersama Muh Dino, dll. 


Perbedaan pandangan diramu dalam dialektika yang menarik hubungannya dengan sosok IDP yang disematkan secara berlebihan sebagai manifestasi sosok Kartini yang pernah membangun sebuah perjuangan pembebasan kaum perempuan disatu sisi dan menyangkut kedudukannya sebagai Bupati Bima menurut esensi hukum emansipas menurut fungsi kepemimpinan daerah disisi yang lain. Diskusi konstruktif ini berlangsung alot sambil seruput kopi hitam yang menggairahkan suasana diskusi sampai larut malam.


Menariknya diskusi soal emansipasi perempuan ini ada hubungannya dengan membaca kemungkinan kemungkinan terjadinya perubahan situasi dan kepentingan politik keberpihakan jelang pilkada Bima, antara tetap mengikuti arus kuasa kepemimpinan IDP atas pengaruh simbol sejarah kultural yang menghemoni cara berpikir dan sikap hidup masyarakat Bima dalam urusan kepemimpinan daerah atau harus bebas dari kuasa hegemoni itu dengan pertimbangan rasionalitas tentang hukum pemimpin perempuan dipandang bernyawa emansipatoris tapi tidak berjiwa emansipatoris.


Saya menilai kaitan dengan IDP dalam diskursus emansipasi perempuan bukan lagi dalam konsepsi gerakan memperjuangkan hak perempuan atau hanya bicara perjuangan pembebasan sesama perempuan dari ketertindasan atas dominasi peran laki laki sebagaimana konsepsi kita tentang sosok Kartini yang dinisbatkan dirinya sebagai pahlawan kemudian menjadi kiblat perjuangan perempuan untuk mendapatkan hak kesetaraan kedudukan dengan kaum laki untuk berdemokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 


Disini kita sudah melewati soal IDP sebagai perempuan yang menuntut harus mendapatkan haknya untuk bebas mengaktualisasikan dan mengekspresikan dirinya diruang publik sebagaimana kaum laki. IDP sebagai seorang perempuan tidak lagi dibatasi haknya karena alasan kodrati dan dominasi struktur patriarki. Memahami IDP tidak lagi berkaitan dengan budaya paternalistik yang mengakibatkan terjadinya proses diskriminasi gender dalam struktur kekuasaan daerah Bima. IDP sebagai perempuan bukan lagi ditempatkan pada kelompok masyarakat nomor dua dari kaum laki laki dalam hukum diskriminasi gender. 


Kita sudah sangat mengapresiasi hak IDP setara dengan kaum laki laki sebagai yang berhak menjadi pemimpin dan berdemokrasi. Atas dasar itu posisi IDP dalam pembahasan sudah tidak lagi berkaitan dengan peran domestik yang dibatasi haknya dalam tuntutan gerakan emansipasi perempuan, tapi ini berkaitan dengan kedudukan IDP selaku pemimpin daerah, karena itu harus fokus pada konteks IDP sebagai sosok perempuan yang memiliki tanggungjawab kepemimpinan politik terhadap rakyat dan daerah Bima, hal ini yang menjadi subtansi persoalannya. Artinya kita harus melihat pergeseran konsepsi emansipasi dalam kedudukan dan peran politik IDP di Bima menurut fungsi kepemimpinan daerah. 


Atas dasar itu, kita tidak melihat nilai emansipasi yang melekat pada diri IDP sekedar untuk mengangkat derajat kaum perempuan agar bisa mendapatkan hak yang sama dengan laki-laki secara politik, tapi nilai emansipatoris IDP telah bergeser menjadi kekuatan dominasi kepemimpinan politik atas dasar pengaruh kuasa dinasti feodalisme, sehingga nilai emansipasi yang hakikatnya adalah konsep untuk mendapatkan hak asasi perempuan untuk proses pembebasan diri dari hegemoni politik feodal dan sistem patriarki justru IDP telah menjadi perempuan yang terlampau ambisi untuk berkuasa melanggengkan kekuasaannya menurut kuasa dinasti feodalisme itu sendiri, itulah yang tadi saya sebut IDP adalah pemimpin perempuan yang bernyawa emansipatoris tapi tidak berjiwa emansipatoris, semacam terjadi kontra produktif.


Dalam hal ini, pandangan dan penilaian kita terhadap IDP selaku pemimpin daerah dari sudut pandang emansipasi hanya berhubungan dengan kerja, hak berdemokrasi, kuasa, dan strata sosial yang dituntut setara hak nya dengan kaum laki laki, tapi bagaimana IDP dapat memahami dirinya memiliki fungsi sosial dan tanggungjawab kepemimpinan untuk membangun daerah yang maju dan menjamin kesejahteraan masyarakat Bima. Maka dari itu, meluruskan cara pandang tentang esensi hukum emansipasi perempuan terhadap eksiatensi IDP adalah mendekonstruksi nalar sejarah, pengkultusan, merubah haluan hegemoni guna meluruskan cara berpikir dan menggugah kesadaran umum masyarakat Bima melalui nalar kritik budaya dominan, menentang kuasa kultural bentukan sejarah yang terlanjur dipercaya menjadi kebiasaan dalam kecenderungan pengkultusan kehebatan IDP secara berlebihan dalam kesadaran irasionalitas, hal itu dinilai sebagai bentuk penjajahan kultural feodalisme kepada masyarakat Bima.


Penting kita memahami dan menyadari hal ini sebagai tanggungjawab bersama terhadap masa depan daerah kaitan dengan kepemimpinan politik IDP, sebab jika melihat kecenderungan dominan masyarakat mendukung dan memilih IDP sebagai pemimpin Daerah bukan atas dasar fungsi kepemimpinannya yang membuahkan karya pembangunan nyata, tapi atas dasar pengaruh simbol kultural yang sudah terlanjur mengakar kuat dalam cara berpikir masyarakat, membentuk watak dan kecendrungan pengkultusan atas dasar mitos sejarah yang dilengkapi lagi dangan model sikap dan gaya pencitraan. Sebut saja ini proses penjajajan kultural yang telah berevolusi secara politik kuasa  dinasti IDP nyata telah mengkerdilkan diri masyarakat Bima, mempersempit ruang kebebasan berpikir benar dan realistis soal kepemimpinan daerah menurut sejatinya asas demokrasi dari, oleh dan untuk rakyat. Menjadikan IDP superior adalah mengaburkan eksistensi diri kita sendiri dalam sikap ketundukkan berlebihan atas posisi subordinasi pihan politik terhadap kekuasaan IDP atas pengaruh simbol feodalisme, bukan atas esensi emansipasi perempuan, bukan pula atas pertimbangan nilai dan fungsi kepemimpinan untuk kemajuan pembangunan daerah, artinya kehebatan IDP tidak berbanding lurus dengan fungsi kepemimpinannya dalam membangun daerah dan mensejahterahkan masyarakat.


Hegemoni kultural telah membentuk kuasa  struktural dalam bentuk eksploitasi kecenderungan alam bawah sadar masyarakat Bima atas kelebihan IDP yang pandai merebut panggung pencitraan diri dari sejumlah sisi pandangan dan pilihan politik masyarakat Bima yang mengaburkan fakta, menghambat spiral pertumbuhan para kaum intelegensia dan melumpuhkan nalar kritis para tokoh dan aktifis di Bima terhadap kepemimpinannya. IDP menjadi hebat bukan karena murni potensi intelegensia yang dimilikinya secara inheren sebagai syarat kepantasan dirinya menjadi pemimpin daerah menurut indikator pembangunan tapi karena dibentuk secara kultural melalui sikap legitimasi dan sakralisasi sejarah dan mitos mitos budaya yang masih membodohi masyarakat Bima.


"Dalam situasi apapun, jangan biarkan emosimu mengalahkan kecerdasanmu" (Bossman)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.