DPR Nilai Proyek GRR di Bontang Kurang Tepat
DPR Nilai Proyek GRR di Bontang kurang Tepat |
JAKARTA,
Media NTB - Anggota Komisi VII DPR RI Kurtubi
mengharapkan agar proyek Green Root Refinery (GRR) Bontang dievalusi. Dia
menilai pembangunan GRR di salah satu daerah
Kalimantan itu memiliki beberapa implikasi yang kurang menguntungkan
bagi Indonesia dan pertamina.
"Sebaiknya jangan
dipaksakan dibangun. Karena akan merugikan pertamina dan negara", ujarnya
di kompleks Parlemen, Senayan, Senin (16/10)
Setidaknya ada lima
alasan, menurut Kurtubi, proyek tersebut kurang tepat dibangun di
Bontang. Pertama, crude intake dari GRR Bontang berasal dari crude Import bukan
crude dalam negeri semisal crude dari Kaltim karena produksi crude dlm negeri
sangat rendah.
"Saat ini sekitar 40%
dari kebutuhan crude untuk diolah di kilang dalam negeri berasal dari impor sehingga
semestinya GRR dibangun di lokasi yang dekat dengan konsumen," terang ahli
perminyakan ini.
Kedua, untuk memenuhi
kebutuhan BBM di pulau Kalimantan dan Sulawesi dalam jangka panjang, dinilainya
bisa tercukupi dari kilang Balikpapan yang saat ini sedang ditingkatkan
kapasitasnya.
"Nah, BBM dari GRR
Bontang dalam proyeksinya diperuntukkan untuk Kawasan Timur (Papua Maluku Bali
Nusa Tenggara). Jarak antara GRR dengan sasaran daerah konsumen, terlalu
jauh," tegasnya.
Hal ini, menurutnya,
menyebabkan biaya angkut BBM untuk jangka waktu panjang menjadi sangat mahal yang akan merugikan
pertamina dan negara.
Dalam pandangannya, untuk
menghemat ongkos BBM semestinya kilang existing Sorong ditingkatkan
kapasitasnya menjadi sekitar 50.000 - 100.000 bph guna memenuhi kebutuhan BBM
Papua dan Maluku untuk masa lebih dari 50 tahun ke depan.
"Solusi lainnya, GRR
sebaiknya dibangun di Lombok Utara dengan kapasitas sekitar 150.000 - 250.000
bph utk memenuhi BBM Bali, Nusa Tenggara, Timor Leste dan sebagian Jatim,"
ungkapnya.
Dari aspek lokasi,
legislator dapil NTB ini menyebutkan, pengalihan pembangunan GRR ke Lombok
Utara akan lebih tepat. Karena daerah ini terletak di ALKI yang lebar dan
dalam, cocok dilalui oleh VLCC raksasa yang mengangkut crude intake yang
berasal dari impor, baik crude Timur Tengah, Afrika Barat, maupun Australia.
"GRR di Lombok Utara
ini akan terintegrasi dengan Pembangunan Global Hub Kayangan (GHK) dan Kota Industri Baru di mana Pemda sudah
menyiapkan 10.000 ha lahan pinggir pantai. Saat ini GHK sudah dinyatakan sesuai
dg RTRW nasional dan sudah ada payung hukumnya (PP Nom13/2017)," imbuhnya.
Tidak hanya itu, Kurtubi juga mengatakan, jika tetap
dipaksakan, pembangunan GRR di Bontang memiliki resistensi terhadap kepentingan
keamanan nasional.
"Secara geografis,
kalau saya menilai, agak riskan bagi keamanan nasional. Seandainya, ada konflik dengan negara tetangga maka
dengan mudah menjadi sasaran serangan musuh," ujarnya.
Apalagi, di Bontang atau
Kaltim saat ini sudah ada industri-industri yang sangat rawan api seperti LNG
Plant, Petrokimia dan pupuk selain kilang super besar dengan kapasitas 360.000
bph di Balikpapan.
Alasan terakhir, terang kurtubi, proyek GRR Bontang tidak sejalan dengan
kebijakan pemerintah dalam memperkecil kesenjangan antar daerah.
"Saya menghimbau,
meminta dan mendesak kepada pemerintah dan Pertamina untuk mengevaluasi ulang
selagi proyek ini masih pada tahap dini. Proyek GRR Bontang ini kurang rasional
dan tidak sejalan dengan kepentingan nasional," pungkasnya.(M)
Post a Comment