Dana Otsus tidak Salah, Skema Tranfernya yang Harus Dievaluasi
JAKARTA, Media NTB - Wabah campak dan gizi buruk di Agats, Kabupaten
Asmat, Papua, menyisakan pertanyaan terkait dana Otonomi Khusus yang dimiliki
oleh tiga provinsi, salah satunya adalah Papua. Pasalnya, dana otsus selalu
mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Untuk Papua, misalnya, tahun 2009 lalu
alokasi dana otsus mencapai angka Rp 4,08 triliun. Angka ini lebih besar dari
dua provinsi lainnya, Papua Barat dan Aceh. Tahun 2017, Papua mendapatkan
alokasi dana otsus sebesar Rp 5,6 triliun. Dari data yang ada, jika diakumulasikan
mulai tahun 2009 hingga 2017, dana yang sudah dialokasikan untuk Papua senilai
Rp 40,43 triliun.
Data Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Papua menyebutkan,
Kabupaten Asmat menerima alokasi dana Rp 5 miliar pada tahun 2003 dan meningkat
tajam menjadi Rp 38,35 miliar pada tahun 2004. Tahun 2014 hingga 2016, dana
yang diterima kabupaten ini menjadi Rp 105,69 miliar.
Untuk kasus Papua, keberadaan dana otsus dikonsentrasikan untuk bidang
pendidikan dan kesehatan. Wajar jika kemudian keberadaan dana ini dipertanyakan
seiring terjadinya kejadian luar biasa (KLB) gizi buruk di Asmat. Muncul
kemudian wacana dari Menteri Keuangan dan Kementerian Dalam Negeri untuk
mengkaji kembali mekanisme pemberian dana otsus Papua. Sebagian kalangan di DPR
bahkan menyuarakan untuk meninjau kembali keberadaan dana otsus ini.
Namun anggota Komisi XI DPR RI Achmad Hatari menyatakan bahwa tidak ada
yang salah dengan dana Otsus Papua. Menurutnya, yang musti dievaluasi adalah
kebijakan skema transfer yang selama ini dilakukan.
"Kalau mau evaluasi oke, peraturan Menteri Keuangan harus diubah.
Skema transfer harus ditinjau kembali dong," ungkapnya saat diwawancara di
ruang kerjanya di lantai 22 Gedung Nusantara I komoplks DPR, Selasa (6/2/2018).
Menurut Hatari, yang harus dilakukan Kementerian Keuangan adalah
mengubah pola transfer dana dari pusat langsung ke kabupaten/kota, bukan
transit terlebih dulu di pemerintah provinsi. Adanya transit ini membuat
panjang birokrasi dan memakan waktu cukup lama.
"Misalnya saja begini, kalau saja ada pekerjaan-pekerjaan yang
dibayai dari dana ostus itu. Fisiknya sudah selesai, uangnya sudah datang dari
pusat, tapi masih tertahan di provinsi. Apalagi dana tadi disimpan oleh Pemprov
di bank-bank di luar daerah Papua, kacau tho," ujarnya.
Dia memahami alasan mengapa dana ini harus mampir dulu di provinsi,
seperti yang berlaku hingga saat ini. Namun jika alasannya adalah agar
pemerintah bisa mengawasi, dalam hemat Hatari itu bisa dilkakukan oleh KPK, BPK
dan lembaga pengawas wilayah.
Selain itu, politisi NasDem ini melihat, implementasi RPJM dalam UU
Otsus Papua harus juga dikoreksi. Kembali lagi dia menegaskan jangan
menyalahkan dana otonomi khusus. Namun yang salah adalah kebijakan pemerintah
daerah yang belum bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar masyarakat. Baik
itu terhadap sektor pendidikan, kesehatan maupun kesejahteraan sesuai dengan
amanat Undang-Undang OtsusPapua.
"Ada RPJMD lima tahun, ada
Musrembang, baru ada RKPD dalam tiga dokumen tersebut, ada ga prioritas
kesehatan, pendidikan atau tidak? Nah ini yang dilihat. Jangan-jangan
sektor-sektor penting itu hilang atau persentasenya dikecilkan sementara yang
lainnya diutamakan. Jadi bukan dana yang salah, yang salah adalah kebijakan
yang tidak berpihak pada masyarakat. Itu yang perlu dievaluasi, jangan
cepat-cepat menyalahkan dana otonomi khusus," tuturnya.
"Jadi jangan gatal di tempat sini, garuk di tempat lain,"
pungkasnya.(M)
Post a Comment