Perbuatan Teologis Dipahami Secara Idiologis; Ambiguisitas 'Sedekah' Walikota Bima

Seorang nenek terharu usai menerima amplop berisi uang yang dibagikan walikota Bima H.M. Lutfi SE. 


Oleh: Rangga Babuju

Bima, Media NTB - Kendati sering menganalisis dan berpikir kritis, tak semua orang ber-IQ tinggi punya kemampuan intrapersonal yang mumpuni. Dalam jurnal berjudul “Cognitive Sophistication Does Not Attenuate the Bias Blind Spot," West et.al. menemukan fakta bahwa orang-orang pintar tidak otomatis mampu mengidentifikasi kekurangan diri sekalipun mereka pandai menunjuk dan mengkritik kelemahan orang-orang di sekitarnya.



Melansir Learning Mind, Selasa (16/1/2018) ada beberapa alasan mengapa orang-orang cerdas tak selalu bahagia hadapi kehidupan nyata. Beberapa diantaranya adalah:


1. Mereka terlalu berlebihan menganalisa sesuatu

Berpikir dan menganalisa sesuatu merupakan hal yang kerap kita lakukan untuk melihat suatu objek atau fenomena. Biasanya orang-orang yang cerdas punya pemikiran lebih dalam ketika melihat sesuatu. 


Tindakan tersebut merupakan hal yang bagus namun jika berlebihan, maka yang akan terjadi dapat berakibat buruk pada tubuh dan pikiran.


Berlebihan dalam berpikir dapat menyita banyak waktu. Apalagi jika kesimpulan yang mereka ambil malah bertentangan dengan nurani dan pandangan sendiri. Hal ini bisa menyulitkan diri sendiri dan dapat memicu rasa frustrasi.


2. Terlalu memaksakan diri

Untuk mencapai hal-hal yang sesuai dengan harapan mereka, biasanya orang-orang cerdas akan memaksakan diri sampai luar batas kemampuan mereka. Biasanya orang-orang seperti itu akan terbiasa untuk menyembunyikan kelemahan mereka untuk menyelesaikan sesuatu.


Mereka memaksakan diri agar kesalahan dan penyesalan di masa lalu tak kembali terulang. Padahal memaksakan diri  menyebabkan banyak kerugian, mulai dari pikiran akan menjadi lelah dan berat, serta menurunkan produktivitas. 


Selain itu, terlalu memaksakan diri sebenarnya juga dapat menyebabkan emosi yang negatif terhadap tubuh dan lingkungan sekitar. 



Kembali ke persoalan judul diatas, yang memang sedang viral saat ini. Walikota Bima berbagi tali asih (sedekah, nazar, niatan hati, dan sejenisnya) dalam beberapa hari terakhir. Walikota Bima, HM. Lutfi SE., membagi uang gajinya selama setahun kepada warga masyarakat yang ia sambangi. Kemudian, diliput oleh media, di-posting disosial media dan ironinya dipelintir dengan istilah ambigu.



Menurut KBBI, Ambigu adalah suatu kata, frasa, atau kalimat yang memiliki makna ganda/ taksa sehingga menimbulkan keraguan atau ketidakjelasan bagi orang lain. Suatu kata atau kalimat menjadi ambigu biasanya karena struktur kalimat yang tidak tepat, intonasi, serta penggunaan kata yang sifatnya Polisemi.



Pada diri HM. Lutfi, melekat jabatan politisnya sebagai Walikota Bima. Beda dengan saya, yang bukan siapa-siapa, kemudian membagikan beberapa lembar amplop utk keluarga saya yang masuk umur lanjut usia (Lansia). Mau diliput atau tidak, ditanggapi tentu biasa saja. Dan sekalipun saya kemudian bersedekah kepada orang yang saya niatkan. Dan atau saya tiba-tiba mendapat hadiah undian pelanggan, Mobil BMW misalnya. Atas hal itu saya pun mengeluarkan rejeki yang saya niatkan sebagai nazar dan atau tasyukuran dalam bentuk nominal uang. Pun saya tentu akan dianggap wajar karena hadiah yang saya dapat nilainya ratusan juta rupiah.



Pembagian tali asih sebagai bentuk Tasyukuran pribadi HM Lutfi karena telah setahun menjabat walikota Bima dengan Rahmat kesehatan yang baik. Kemudian oleh sebagian dari kita, warga Bima mempelintirnya dengan diksi kata yang Ambigu, lalu dianalisah berdasarkan Ideologi diri kita berdasarkan kecerdasan kita diatas rata-rata pada umumnya.



Ironinya, HM Lutfi menggerakkan diri berdasarkan tuntunan Teologi. Sementara banyak orang cerdas melihatnya/menganalisahnya pada sudut pandang Ideologi. Seperti dengan menyatakan bahwa apa yang dilakukan adalah pencitraan, mencari popularitas dan dianggap gaya politik yang tidak populis.



Kita semua harus paham bahwa, Teologi berasal dari bahasa Yunani, theos yang berarti Tuhan; logos berarti ajaran, maka definisi yang paling dasar tentang teologi adalah ajaran tentang Tuhan.



Sementara Ideologi, menurut Ali Syariati, adalah suatu keyakinan-keyakinan dan gagasan-gagasan yang ditaati oleh suatu kelompok, suatu kelas sosial, suatu bangsa atau ras tertentu. Istilah ideologi sangat erat hubungannya dengan berbagai bidang kehidupan manusia, diantaranya: Politik (Hukum, Pertahanan dan Keamanan), Sosial, Pendidikan dan Kebudayaan.



Kembali ke soal HM. Lutfi, sesungguhnya apa yang dilakukan oleh HM. Lutfi adalah benar dari sudut pandang Teologi. Soal Halal haram, soal layak dan tidak, soal bid'ah apa tidak, biarkan itu menjadi Hablumminallahnya. Sebab, Allah SWT telah memerintahkan untuk 'Fastabiqul khairat' yaitu sebuah ajakan yang artinya`berlomba - lomba lah berbuat kebajikan`. Soal apakah itu (yang dilakukan oleh Pak Wali) adalah yang dimaksud oleh Allah SWT atau tidak, kembalikan urusan itu pada Allah SWT. Janganlah kita (Manusia) yang men-vonis melampaui urusan dan atau mengambil alih Urusan Allah SWT itu sendiri.



Jika Walikota Bima telah meniatkan atau pernah ber-nazar untuk membagikan gaji nya kepada Rakyat yang ia pimpin, maka, apa yang ia lakukan adalah menunaikannya. Dan soal Niat serta Nazar itu menjadi urusan ia dengan Tuhannya.



Tugas kita sebagai manusia dalam konteks Teologi adalah mendoakan yang terbaik untuk kesehatan dan keselamatan beliau. Siapa tahu diwaktu yang akan datang, HM. Lutfi meniatkan sesuatu dan Rejeki itu adalah Rejeki kita.



Sementara sudut pandang Idiologi yang kita gunakan untuk menganalisah Teologi harus dilengkapi dengan kedewasaan dan atau kebijaksanaan kita untuk menilainya tanpa harus melabeling segala tindak tanduk dengan hal yang politis. Sebab, pada diri HM. Lutfi, selain melekat jabatan walikota, juga melekat sebagai seorang muslim yang berusaha mencapai kesempurnaan Amal Ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT. 

Warga kota Bima terlihat antusias menyambut walikota Bima HML bersama ketua Tim PKK kota Bima, Umi Ely yang membagi bagikan amplop berisi uang. 

Sehingga Ary Ginanjar Agustian, dalam Bukunya yang berjudul 'ESQ', mewajibkan seseorang untuk melengkapi IQ (Intelegensia Quantity) kita dengan EQ (Emotional Quantity) dan SQ (Spiritual Quantity) yang disatukan dalam ESQ (Emotional Spiritual Quantity). Agar kecerdasan kita nampak bijak dalam memilah persoalan dan mengurai masalah yang semestinya.(**)


Penulis adalah warga kota Bima, 
yang melihat sikap ini sebagai sikap istiqomah seorang manusia pada Tuhan Nya.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.