Jalan Terjal RUU Masyarakat Adat
Muchtar Luthfi A. Mutty |
JAKARTA,
Media NTB - Perjalanan Rancangan Undang-Undang
Perlindungan Hak Masyarakat Adat penuh rintangan dan tidak mudah selesai di
Senayan. Ini dibuktikan dengan lambatnya RUU ini dibahas di DPR.
“RUU ini sebetulnya sudah
masuk dalam prolegnas periode DPR sebelumnya (2009-2014), tetapi hingga akhir
keperiodean tidak kunjung RUU ini juga disahkan sebagai Undang-Undang,” kata
Anggota Baleg DPR RI Muchtar Luthfi A Mutty saat memberikan sambutan dalam
seminar tentang “Urgensi Undang-undang Masyarakat Adat: Mendorong Penyelesaian
RUU tentang Masyarakat Adat” di Ruang ex Banggar, Gedung Nusantara I, Kompleks
DPR RI, Selasa (24/10).
Luthfi menjelaskan sistem
legislasi yang berlaku di DPR sendiri tidak bersifat carry over. Hal ini
mengakibatkan RUU yang menjadi pembahasan prolegnas periode sebelumnya tidak
begitu saja masuk kembali dalam daftar prolegnas periode selanjutnya.
Politisi NasDem ini juga
mengisahkan bagaimana dirinya dan Fraksi Partai Nasdem mengambil peran untuk
mengusung kembali RUU ini masuk prolegnas ketika dirinya menjadi anggota DPR
saat ini.
“Sedari awal saya coba
masukkan dalam prolegnas 2015 dan 2016 selalu gagal. Baru pada tahun 2017
berhasil, RUU ini masuk dalam daftar prolegnas,” ungkapnya.
Luthfi menegaskan bahwa
keberadaan RUU Masyarakat Adat sangatlah penting dan mesti diputuskan menjadi payung hukum bagi
keberadaan serta pengakuan terhadap masyarakat adat.
“Indonesia, negara yang
majemuk dari bahasa, budaya, adat istiadat, agama, semuanya serba majemuk.
Kalau boleh saya katakan secara konsep kemajemukan itu semuanya itu diikat
dalam bingkai bhineka tunggal ika, tetapi kalau secara realitasnya itu ada
dalam masyarakat adat. Jadi kalau kita semuanya ingin mengakui serta menjaga
NKRI dalam kerangka realitas, maka harus juga mengakui keberadaan hak-hak
daripada masyarakat adat,” urai Bupati Luwu Utara periode 1999-2009 ini.
Legislator daerah pemilihan
Sulawesi Selatan III ini mengingatkan, pengakuan terhadap kesatuan negara
Indonesia apabila dalam kehidupan berbangsa belum sepenuhnya mengakui
keberadaan hak masyarakat adat.
Masyarakat adat, jelasnya,
sudah ada sebelum negara Indonesia merdeka. Maka sudah sepatutnya hak
masyarakat adat diakui oleh negara.
“Buat apa kita
memperdebatkan terkait ideologi negara (Pancasila), namun sisi lain kita masih
mengabaikan keberadaan saudara kita, masyarakat adat yang sejak negara ini
merdeka “dirugikan” haknya. Tidak ada guna berdebat di ruang ber-AC, namun
tidak memperdulikan saudara kita, masyarakat adat yang hidup kehujanan,
kepanasan serta secara haknya terinjak-injak.
Inilah yang mendorong saya gencar agar RUU ini segera disahkan,”
tegasnya.
Pengujung kata pengantar,
Luthfi mengajak kepada seluruh pegiat sosial dan seluruh pihak memiliki misi
sama yang menghadiri seminar tersebut agar saling bahu membahu mendorong RUU
ini menjadi undang-undang sebelum DPR periode 2014-2019 berakhir.
“Saya berharap dukungan
penuh dari seluruh pegiat sosial dan masyarakat adat,” pungkasnya.
Seminar tersebut
menghadirkan dua narasumber, yakni antropolog dan peneliti Pusat Kajian
Etnografi dan Hak-Hak Komunitas Adat/Pustaka Yando Zakaria dan Arimbi
Haroeputri, anggota Komnas Perempuan periode 2010-2014.(M)
Post a Comment