PJJ, Masih Menjadi Opsi Terbaik Menjaga Keberlanjutan Pendidikan di Masa Pandemi


Oleh : Nukman

Banyak hal yang harus dipertimbangkan secara matang untuk membuka sekolah di masa Pandemi ini, sebab anak termasuk kelompok rentan terhadap Covid-19, kita harus menghitung resiko pembukaan sekolah secara hati-hati.



Sikap Kemendikbud yang menetapkan tahun ajaran baru 2020/2021 yang ingin melangsungkan mulai Minggu ketiga Juli 2020 yang walaupun bisa maju-mundur satu Minggu tergantung masing-masing kepala daerahnya, berdasarkan usulan IGI dan PGRI menurut saya merupakan sebuah kebijakan penuh resiko.



Pembukaan sekolah atau kembali nya proses belajar mengajar tatap muka hanya dimungkinkan di kawasan yang zona nya hijau dan wilayah dengan catatan nol kasus Covid-19. Ini mengacu kepada keputusan gugus tugas percepatan penanganan Covid-19.



Hemat saya pembelajaran jarak jauh (PJJ) masih menjadi opsi terbaik untuk menjaga keberlanjutan pendidikan di masa pandemi ini. Mengapa? Mengingat seperti daerah saya Nusa Tenggara Barat angka kematian akibat Covid-19 makin hari makin meningkat adanya.



Terdapat 108 kabupaten Kota yang masuk kategori zona hijau atau sekitar 21 persen dari total 514 kabupaten Kota di Indonesia. Ini belum angka pasti karena bisa bertambah atau berkurang mengingat pandemi belum berakhir.



Ditengah upaya pemerintah untuk menyiapkan tatanan normal baru sejumlah daerah pun mewacanakan membuka lagi sekolah, paling tidak mulai tahun ajaran baru ini. Meski dengan kebijakan protokol kesehatan sekalipun, menurut salah seorang peneliti Sosiologi Pendidikan Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu pengetahuan Indonesia, Anggi Afriansyah, pembukaan sekolah masih sangat beresiko bagi siswa dari kelas ekonomi menengah kebawah, menurutnya ke sekolah bisa berarti menggunakan transportasi umum publik yang memungkinkan mereka bertemu dengan banyak orang dari berbagai wilayah zona Covid-19 yang sangat beragam. Dengan berdesak desakan di angkutan umum potensi mereka tertular Covid-19 sangat besar. Dengan berbagai keterbatasan infrastruktur pendukung belum tentu mudah juga bagi sekolah untuk melaksanakan protokol kesehatan secara menyeluruh dan baik. Sekolah harus mampu menyiapkan wastafel banyak, alat pengecek suhu, cairan pembersih tangan, sabun cuci tangan, toilet dan air bersih belum tentu mencukupi sesuai jumlah siswa, belum lagi membuat ruang kelas yang berjarak terutama di sekolah negeri. Belum sekolah swasta yang sangat minim bahkan tidak ada biaya tambahan operasional yang disiapkan bahkan sekolah sekolah di daerah pun sama adanya.



Sebagai contoh Kebijakan kepala daerahnya saja akan itu hanya tertuju kepada soal bansos dan kesehatan sementara dana atau anggaran Covid-19 di Kabupaten Bima saja misalnya dianggarkan sebesar Rp 50 miliar, Ketua Gugus Tugas penanganan Covid-19 melalui hasil paripurna DPRD kabupaten setempat meluncurkan program penyemprotan disinfektan secara parsial, lalu program yang agak nampak adalah jaring pengaman sosial yang diberi nama BIMA RAMAH dengan kuota 100 Kepala Keluarga per desa dengan nominal Rp 200ribu per orang dengan sasaran 191 desa, mari kita hitung berapa jumlah anggaran nya 100 KK x Rp 200.000 perdesa lalu kita kalikan 20.000.000,- x 191 desa maka hasilnya  Rp  3.820.000.000 lalu kita kalikan lagi Rp  3.820.000.000 x 3 bulan ( Mei Juni dan Juli )  maka total anggaran Covid-19 yang terpakai untuk penanganan sosial  hanya sebesar Rp 11.460.000.000,- terbilang sebelas miliar empat ratusan lebih dari total anggaran Covid-19 sementara anggaran masih tersisa sekitar  Rp 38.540.000.000,- terbilang tiga puluh delapan miliar lima ratus empat puluh juta rupiah. Jika ada kearifannya sisa saldo Covid-19 sebesar Rp 38.540.000.000,- kalau dibagi dua dengan pendidikan dan kesehatan lumayanlah untuk Kabupaten Bima.



Nah, kembali kepada topik awal kita jika saja pemerintah Kabupaten Bima yang ada di Nusa Tenggara Barat membuka sekolah maka Ketua Gugus Covid-19 harus pula menyertakan anggaran untuk dunia pendidikan daerahnya sebab tanpa didorong dan dibantu sangatlah mustahil normal baru untuk keberhasilan pendidikan tercapai begitu pula dengan kebijakan untuk kesehatan misalnya saja jika masih terdapat kekurangan alat alat maupun lainnya yang mendukung ke arah tugas nya belum mumpuni bisa saja dengan sisa anggaran itu gabungan dana pemulihannya akan segera terwujud. Akan tetapi itu semua kembali kepada nawaitu dan itikadnya apakah mau begitu, wallaahuallam kembali kepada pemegang anggaran dan pemangku kebijakan daerahnya.



Penerapan protokol kesehatan secara ketat harus dijamin jika sekolah hendak dibuka, harus ada jaminan semua warga sekolah menggunakan masker dan unit kesehatan sekolah atau klinik sekolah menyediakan alat pelindung diri. Apakah pemerintah Pusat dan daerah dapat menjamin sekolah mampu menyiapkan beragam infrastruktur yang sangat dibutuhkan tersebut? Kalaupun hal tersebut terpenuhi, menurut saya apakah ada jaminan protokol kesehatan dapat dipatuhi dengan baik.



Merujuk kepada negara negara seperti Singapura , China dan Jepang mereka sangat ketat ketika kembali membuka sekolah. Di Singapura misalnya sebelum sekolah dibuka wajib ada test swab. Sumber daya yang lebih baik jumlah siswa yang tidak banyak dan wilayah yang kecil memungkinkan hal tersebut dilaksanakan di sana. Di China, untuk menjamin siswa disiplin menjaga jarak setiap siswa sekolah dasar mengenakan "sayap" di punggung mereka. China juga memiliki informasi yang sangat lengkap tentang status kesehatan warganya terkait Covid-19. Di Jepang, pembukaan sekolah hanya diberlakukan untuk siswa kelas pertama dan terakhir dalam kelompok kelompok kecil dan dengan protokol kesehatan yang ketat. Begitu pun di Malaysia pembukaan sekolah hanya bisa dilakukan setelah semua satgas penanganan Covid-19 secara nasional menyatakan aman dan terkendali bukan aman yang dibuat buat sesuai selera hanya ingin menerapkan new normal tanpa dilandasi dengan data yang valid.



Disiplin dan protokol yang ketat merupakan syarat mutlak karena anak juga termasuk kelompok rentan Covid-19, di beberapa negara, seperti Jepang dan Malaysia, memang belum ada laporan kasus anak terinfeksi Covid-19. Namun, di Indonesia, data ikatan dokter anak Indonesia menunjukkan, angka kesakitan dan kematian anak akibat Covid-19 sangat tinggi. Hingga 18 Mei 2020, pasien ODP (orang dalam pengawasan) anak mencapai 3.324 anak, 129 anak berstatus ODP meninggal, 584 anak terkonfirmasi positif Covid-19 dan 14 anak meninggal karena Covid-19. Karena itu, pendapat para ahli epidemiologi haruslah menjadi bahan acuan ketika pemerintah akan membuka sekolah. Belajar dari kasus pembukaan sekolah di Perancis, keyakinan pemerintah bahwa pembukaan sekolah akan aman dengan protokol kesehatan yang telah ditetapkan ternyata tidak terbukti. Hanya seminggu setelah dibuka, sekolah di Perancis ditutup lagi karena terjadi penularan virus Covid-19 di sekolah (Associated Press,19/5/2020). Perancis termasuk negara dengan angka penularan virus Covid-19 yang rendah, dan pembukaan kembali sekolah pun hanya diberlakukan bagi sepertiga siswa di wilayah yang dinilai aman dari virus Covid-19. Pembukaan kembali sekolah menambah paling tidak 70 kasus baru di Perancis.



Para ahli epidemiologi dunia mengingatkan sekolah yang dibuka kembali dapat mendorong jumlah infeksi baru. Penelitian yang dipimpin oleh ahli virus di Jerman, Christian  Drosten menunjukkan konsentrasi virus Covid-19 baru pada anak anak yang terinfeksi sangat tinggi bahkan pada mereka yang tidak menunjukkan gejala ( asimptomatik ). Konsentrasi virus berbanding lurus dengan daya penularannya.( The New York Times, 8/5/3/2020).



Badan Perserikatan bangsa bangsa untuk anak-anak (UNICEF), organisasi kesehatan dunia (WHO) dan Federal Internasional Perhimpunan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC) menekan kan keputusan untuk kembali membuka sekolah harus di dasarkan pada banyak pertimbangan. Selain jaminan kondisi lingkungan yang aman dari virus Covid-19 dan protokol kesehatan yang ketat warga sekolah juga wajib memahami informasi dasar tentang Covid-19 termasuk cara penularan nya  dan juga cara pencegahan nya termasuk membutuhkan anggaran tambahan yang tidak sedikit untuk dunia pendidikan bagi anak-anak kita mengingat belajar sambil bertahan hidup dari gempuran wabah.



Dengan segala pertimbangan tersebut juga menilik perkembangan kasus virus Covid-19 di Indonesia dan di berbagai daerah terutama NTB ada baiknya kita menghitung resiko pembukaan sekolah untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.



Penulis Adala Ketua DPD FGII NTB, Alumni Magister Kebijakan Publik Universitas Wijaya Putra.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.