Perang Dagang Amerika dan Cina; Telaah Respon Presiden RI


Oleh : Hayatul Nisa


Perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China diprediksi akan terus berlanjut, perang dagang kedua Negara Ekonomi raksasa ini akan memberikan dampak positif dan negative bagi perekonomian dunia lebih kususnya Indonesia.


Ekspor yang menjadi salah satu motor pengerak pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan akan menurun. Pasalnya, AS dan CHINA merupakan dua negara pangsa ekspor utama Indonesia. Dengan diterapkan tarif import oleh Amerika Serikat dan China terhadap beberapa produk ekspor masing-masing Negara, terdapat kemungkinan negara penghasil barang-barang yang diberi tarif import mereka mencari pasar baru, termasuk ke Indonesia.


Negara penghasil barang-barang ini yang sebelumnya dapat masuk ke Amerika Serikat atau negara yang biasa membeli, karena ada rambu-rambu tarif dan sabagainya, mereka pasti akan mencari pasar baru yang lebih potensial seperti Indonesia, Karena itu Indonesia harus menyiapkan diri menghadapi dan memanfaatkan perkembangan pasar global yang diakibatkan oleh perang dagang AS-China.


Perang dagang dapat memberikan dampak positif bagi Indonesia sebagai negara berkembang. Dalam konteks ini, dalam sistem pasar, bahwa dengan berlakunya tarif import tersebut akan menekan ongkos produksi untuk produk-produk buatan pabrik China. Sehingga, diharapkan arus investasi dapat mengalir secara massif ke negara kita Indonesia.


Perekonomian Amerika dan Cina mempunyai peran yang sangat besar di dunia. Pada tahun 2017 kontribusi PDB AS terhadap perekenomian dunia mencapai 24,03%, sementara Cina tercatat 15,2%. Sementara kontribusi Indonesia terhadap PDB dunia hanya 1,25%. Selain berperan besar terhadap PDB dunia, kontribusi nilai perdagangan AS dan Cina juga sangat besar mencapai 8,8% dan 12,8%. Di sisi lain, AS mengambil 13,5 % dari impor dunia, sementara Cina menyumbang 10,3%. Dengan besarnya kekuatan perekonomian AS dan Cina di dunia, bisa dipastikan bahwa kedua negara tersebut akan mempengaruhi.


Dari data tersebut membuktikan bahwa konflik perdagangan, teknologi dan geopolitik Amerika dan Cina telah menunjukkan eksistensi kedua negara tersebut paling unggul di abad ke-21 dan secara tidak langsung dapat memicu kekhawatiran negara-negara mitra yang tidak berkonflik perang dagang.


Presiden Jokowi menyatakan kurs rupiah dan dolar AS tidak lagi relevan sebagai tolok ukur namun yang tepat adalah kurs rupiah disandingkan dengan kurs mitra dagang kita dan mitra dagang Indonesia yang terbesar adalah China, sedangkan Ekspor Indonesia ke AS hanya menyumbang porsi 10% sampai 11% dari total ekspor. Nilai tersebut lebih kecil dibandingkan porsi ekspor ke Cina (15,5 persen), Eropa (11,4 %), dan Jepang (10,7 %) sehingga jika diukur dengan dolar (AS) kita akan terlihat jelek. Padahal ekonomi kita oke-oke saja, ujar Presiden.


Namun sebaliknya bila nilai tukar rupiah diukur terhadap renminbi China atau yen Jepang. Sebab, rupiah terlihat lebih perkasa bila dipersepsikan dengan kedua mata uang tersebut.


Menurut Darmin, terdapat tiga blok industri yang diharapkan pemerintah bisa masuk ke Indonesia. Ketiga blok ini di antaranya; pertama, blok dari besi dan baja, kedua untuk petrochemical (crude oil, gas, batu bara), dan ketiga I kimia dasar lain (farmasi). Hal ini dikarenakan, ketiga blok industri ini “memakan” lebih dari 50% jumlah total untuk impor Indonesia.


Pertarungannya di situ. Kita harus bisa mengundang masuk, tanpa tax holiday, investor tidak akan mau. Masing-masing negara menahan ini sebagai power bargaining. Kita harus lebih kompetitif dan lebih menarik.

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.