Menag Sampaikan Kuliah Umum di FIB-UI, “Tidak Mungkin Melihat Ajaran Tanpa Konteks”



Depok, Media NTB - Menurut Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, setiap umat muslim dituntut untuk dapat memahami, menghayati, dan mengamalkan ajaran islam secara kaffah. Ketika ajaran yang didatangkan dari zat yang maha sempurna turun ke bumi, kemudian dipersepsi oleh manusia,  dari sini mulai masalahnya.



Oleh sebab itu jika kita kaji karya ulama-ulama terdahulu dengan kepakaran dan kealiman mereka, di akhir tulisan selalu disebut wallahu ‘alam bisshowab. Karena  keterbatasan manusia itulah yang menjadi awal mula lahirnya keragaman persepsi, walau bersumber  dari kitab yang satu, Tuhan yang satu, dan rasul penyempurna yang satu.



Pandangan tersebut disampaikan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin, pada kuliah umum (20/9) dengan tema Islam dan Kebudayaan di Indonesia yang diselenggarakan oleh Program Studi Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya (FIB) UI dalam rangka menyambut ulang tahun yang ke-60.



Dalam kesempatan ini hadir pula Dekan FIB UI Adrianus L.G. Waworuntu, Kaprodi Arab Apipuddin dan sekitar 200 mahasiswa beserta dosen yang memenuhi Auditorium Gedung 1 FIB.



Lukman juga menambahkan, dalam al-Quran terdapat beberapa teks yang menimbulkan perbedaaan penafsiran. Seperti contoh surat al-Hujurat ayat ke-13. Tuhan menggunakan dua kosakata berbeda untuk makna “menciptakan”, Allah swt menggunakan kata khalaqa, saat menyebutkan pria-wanita.



Kata ini menegaskan bahwa Tuhan sepenuhnya menciptakan sebuah entitas tanpa ada intervensi dari pihak lain, tetapi saat menyebutkan suku yang berbeda-beda, Allah menyebutkan kata ja’ala, disinilah terdapat intervensi manusia dalam menciptakan keberagaman tersebut.



Menteri Agama yang juga alumni Pesantren Gontor ini mengungkapkan bahwa agama Islam dapat dilihat dari dua perspektif yakni dari sisi dalam dan sisi luar. Jika kita melihat agama sebagai sebuah institusi, kita baru melihat agama dari perspektif luar yang juga memiliki perspektif dan penafsiran yang luar biasa beragam. Dan bila Islam dilihat dari sisi dalam, maka kita akan melihat substansi dan esensi dari ajaran agama tersebut, tegasnya. Kita jangan terlalu membuang energi melihat islam dari perpektif luar, mari kita fokus pada ajaran islam dari dalam yang substansial dan esensial.



Sedangkan Budaya menurutnya adalah hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Ketika nilai Islam turun ke bumi, terdapat proses kontekstualisasi yang beragam. Terdapat percampuran budaya Indonesia sebelum islam dengan budaya Islam di Indonesia, tidak masalah selama tetap sama dalam hal-hal substansial dan esensial yang terdapat dalam Islam.



Menjawab pertanyaan salah satu mahasiswa tentang urgensi Islam Nusantara. Lukman Menegaskan bahwa Islam Nusantara bukan sebuah hal yang baru. Sederhana saja, Islam Nusantara adalah penerapan nilai-nilai islam di Indonesia. Bagaimana Islam diterapkan di Indonesia. Ketika Islam turun di sebuah tempat, terdapat keragaman perspektif akibat kontekstualisasi dengan kebudayaan yang berkembang di lingkungan setempat. Hal ini sangat urgent sebab tidak mungkin kita melihat ajaran tanpa sebuah konteks dan kita tidak dapat melihat hal ini sebagai sebuah hitam dan putih lalu membuat garis demarkasi.



Di penghujung acara, Prodi Arab menampilkan apresiasi puisi yang dibacakan oleh mahasiswa dalam empat bahasa, Arab, Persia, Turki dan Ibrani. Empat bahasa tersebut adalah bahasa-bahasa yang diajarkan di Prodi Arab. Tak ketinggalan, Menteri Agama pun turut membacakan tiga puisinya sendiri, yang berjudul Waktu, Sandikala dan Cinta.(M)

Tidak ada komentar

Diberdayakan oleh Blogger.