State of Green vs NTB Net Zero Emissions 2050, Transisi Energi Hijau ala Denmark vs NTB
State of Green
Ikhtiar Denmark dalam melakukan transisi energi hijau sudah dimulai sejak 50 tahun yag lalu. Saat itu, terjadi krisis energi yang dipicu oleh ketegangan di Timur Tengah yang mengakibatkan harga minyak dunia melambung tinggi. Momen tersebut adalah wake up call bagi Pemerintah Denmark untuk mulai mengurangi ketergantungan terhadap minyak bumi dan memperkuat ketahanan energi lokal.
Sebagai langkah awal, Pemerintah Denmark memastikan komitmen penuh dari parlemen dimana diperoleh dukungan mayoritas dari 175 anggota parlemen. Selanjutnya, disusun kebijakan energi yang terintegrasi dengan pengelolaan sampah, konservasi air dan ekonomi sirkular.
Namun jika ditinjau dari jumlah penduduk dan emisi yang dihasilkan, Denmark hanya merepresentasikan sekitar 0,1 persen dari populasi dunia. Untuk itu, Denmark memiiki ambisi global untuk menularkan semangat ini ke seluruh dunia. Indonesia dengan jumlah penduduk lebih dari 280 juta dan pertumbuhan ekonomi yang positif menjadi salah satu prioritasnya.
Pertimbangan tersebut melatarbelakangi didirikannya State of Green. State of Green adalah Lembaga yang didanai operasional oleh Pemerintah dan pelaku industri beberapa dekade lalu. Lembaga ini aktif mempromosikan dan menghubungkan ambisi Denmark untuk mengurangi emisi global, meningkatkan penggunaan energi terbarukan, manajemen air dan sampah ke suluruh dunia. Menjalin kemitraan dengan Pemerintah dan pihak swasta megubah tantangan menjadi kesempatan di 4 (empat) area fokus yaitu transisi energi, manajemen air bersih, green cities dan ekonomi sirkular.
NTB Net Zero Emissions 2050
Dalam kunjungan kerja ke kantor State of Green, Kopenhagen pada tanggal 2 November 2022, ketua tim delegasi Provinsi Nusa Tengga Barat, ibu Wakil Gubernur menyampaikan bahwa Provinsi Nusa Tenggara Barat juga memiliki ambisi netral karbon di tahun 2050, yang dikenal dengan NTB Net Zero Emissions 2050. Dengan mendeklarasikan kondisi netral karbon di tahun 2050, berarti jumlah emisi yang dihasilkan pada tahun 2050 akan sama dengan jumlah karbon yang diserap melalui aktifitas seperti pemanfaatan energi terbarukan, penggunaan kendaraan listrik, mengurangi volume sampah dan penghijauan.
Sampai dengan bulan Juni tahun 2022, capaian bauran energi Provinsi Nusa Tenggara Barat sekitar 19%. Hal ini dipandang cukup baik, karena ikhtiar transisii energi hijau baru dimulai di pertengahan tahun 2019, dengan ditetapkannya Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2019 tentang Rencana Umum Energi Daerah (RUED-P) Provinsi Nusa Tenggara Barat. Bahwa ikhtiar ini tidak hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah, namun harus dilakukan Bersama-sama dengan Pemerintah Pusat dan PT. PLN (Persero) sebagai pemegang hak monopoli di sektor ketenagalistrikan di Indonesia.
Transisi energi hijau ala Denmark vs NTB
Belajar dari kasus Denmark juga, dapat dibuktikan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak harus mengorbankan kesejahteraan ekosistem atau lingkungan hidup sekitar. Berdasarkan data yang dirilis oleh State of Green, sejak tahun 1990 sampai dengan 2020, Pemerintah Denmark telah berhasil meningkatkan pertumbuhan GDP/PDRB hingga 62%, namun di sisi lain bisa mengurangi pemakaian energi atau melakukan konservasi energi hingga 14% dan memangkas sekitar 43% emisi gas rumah kacanya.
Jika dibandingkan dengan NTB, peluang untuk mengurangan emisi gas rumah kaca sama besarnya terutama di sektor pertanian, sektor pertambangan dan sektor pariwisata. Di sektor pertanian, pemanfaatan kotoran hewan, jerami, sekam padi dan tongkol jagung untuk biogas dan pembangkitan listrik dapat mengurangi emisi gas metana yang jauh lebih berbahaya daripada karbondioksida. Industrialisasi di sector pertanian juga tidak harus bersifat mass production, namun harus memperhatikan keseimbangan lingkungan dan memprioritaskan pemenuhan kebutuhan local.
Di sektor pertambangan, praktek green mining seperti yang dilakukan oleh PT. Amman Mineral dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dengan kapasitas terpasang 26.000.000 Wattpeak untuk memenuhi 20% kebutuhan energi smelter dapat menjadi best practice bagi perusahaan tambang lainnya. Selain itu, untuk sektor pariwisata, green tourism dan pariwisata berbasis komunitas saat ini sedang mendapatkan momentumnya, popular di kalangan wisatawan mancanegara. Tentunya peluang-peluang kerjasama dengan pihak lain perlu dioptimalkan karena keterbatasan ruang fiskal daerah, melalui kemitraan yang diinisiasi oleh Pemerintah baik pusat maupun di daerah.
Penulis: Niken Arumdati, ST, M.Sc
Post a Comment